img from http://habibmaulana.com/wp-content/uploads/2011/01/tengger_04.jpg
Masyarakat Tengger adalah sebuah
masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Bromo, Jawa Timur, menempati sebagian
wilayah kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Menurut legenda,
asal-usul masyarakat tersebut dari kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri.
Masyarakat Tengger umumnya hidup sebagai petani ladang. Prinsip mereka adalah
tidak mau menjual tanah (ladang) pada orang lain.
Masyarakat yang berdiam di Bromo ini
sangat mudah dikenali karena selalu menggenakan sarung, dalam istilah mereka
disebut kawengan. Sarung digunakan sebagai baju atau jaket penghangat dari
serangan angin dingin yang menusuk tulang, selain harganya murah, sarung mudah
didapat dibandingkan pakaian hangat lainnya. Mayoritas masyarakatnya memeluk
agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali,
yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu
Mahayana. Selain agama Hindu, agama lain yang dipeluk adalah agama Islam,
Protestan, Katolik.
Berdasarkan ajaran agama Hindu yang
dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasodo. Selain Kasodo, upacara
lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan mantra amat
kental pengaruhnya dalam masyarakat masyarakat keturunan Joko Seger dan Roro
Anteng ini. Orang-orang masyarakat Tengger dikenal taat dengan aturan adat juga
agama dan meyakini bahwa mereka keturunan langsung dari Majapahit.
Maka dari itu, perlu untuk mengetahui
segala sesuatu secara rinci tentang masyarakat tengger baik dibidang social,
budaya, dan sebagainya karenamasyarakat tengger merupakan salah satu kekayaan
yang dimiliki oleh nusantara.
Asal-usul Masyarakat Tengger
Masyarakat
Tengger merupakan penduduk asli di sekitar Gunung Bromo. Keberadaan Masyarakat
Tengger ditandai dengan adanya kepercayaan atau legenda mengenai masyarakat
tersebut. Untuk dapat mengungkapkan terbentuknya
masyarakat Tengger, digunakan sumber lisan maupun cerita rakyat yang diyakini
kebenarannya, baik itu oleh masyarakat Tengger sendiri maupun oleh masyarakat
luar sekitar pegunungan Bromo.
Menurut
legenda, asal-usul masyarakat Tengger berasal dari Kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri saat Majapahit
mengalami kemunduran dan bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa
punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah
timur, dan sebagian menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara
Anteng (putri raja Majapahit) dan Jaka Seger (putra seorang Brahmana).
Pasangan Rara
Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan
Tengger dengan sebutan Purbowasesa
Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger yang
Budiman".
Nama Tengger
menurut keyakinan masyarakatnya berasal dari perpaduan kata Roro Anteng dan
Joko Seger. Selanjutnya untuk mengenang keduanya, maka masing-masing masyarakat
kata tersebut digabungkan sehingga terbentuk kata “Tengger”. Kata itu mempunyai
makna tenggering budi luhur, artinya sebagai tempat yang didiami oleh
orang-orang yang berbudi luhur. (Slamet Mulyana, 1979: 199-200).
Menurut sumber cerita yang lain dari masyarakat diluar masyarakat
Tengger atau orang bawah, nama Tengger berasal dari kata Tetengger yang artinya
dapat diidntifikasikan. Di sini dimaksudkan bahwa identifikasi tersebut tidak
dilihat dari fisik manusianya melaikan dilihat dari non fisik seperti bahasa
dan cara berpakaiannya.
Asal mula cerita rakyat tersebut bermula dari bahasa yang menjadi alat
komunikasi Masyarakat Tengger. Beberapa kata yang terdapat dalam Bahasa Tengger
terdapat kata-kata yang khas dan tidak sama dan tidak sama dengan kata-kata
yang dipakai oleh orang bawah, misalnya dalam penyebutan aku laki-laki dalam
bahasa orang Tengger disebut reyang dan penyebutan aku perempuan disebut isun,
selain itu ucapan bahasa mereka agak berbeda bila dibandingkan dengan ucapan
bahasa orang bawah meskipun kata-katanya sama. Selain identifikasi bahasa yang
dapat membedakan orang Tengger dengan orang bawah adalah hal berpakaian. Setiap
orang Tengger selalu memakai pakaian tambahan, seperti sarung yang diletakkan
di atas pundaknya dan setiap mereka kemanapun selalu memakainya.
Identifikasi bahasa dan cara berpakaian mereka diketahui apabila turun
gunung, maka orang luar sekitar Pegunungan Tengger atau orang bawah dapat
mengidentifikasi (tetengger) bahwa mereka orang atas atau orang Tengger.
(Hariadi, 2003: 38-39)
A.Profil
Masyarakat Tengger
Kekhasan
masyarakat Tengger dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain dari upacara
adat, agama dan kepercayaan, kehidupan di keluarga, kehidupan di lingkungan dan
cara bercocok tanam.
a. Agama Masyarakat Tengger
Masyarakat
Tengger mewarisi tradisi Hindu pada jaman Kerajaan Majapahit. Ini dapat
terlihat dari tata cara praktek ritual keagamaannya yang masih terpelihara utuh
hingga sekarang. Sejak awal Kerajaan Majapahit nama Tengger sudah dikenal dan
diakui sebagai tanah hila-hila yang berarti tanah suci. Penghuninya dianggap
sebagai abdi dibidang kerohanian dari Sang Hyang Widi Wasa.
Agama Hindu di
Bali dan di Tengger pada dasarnya sama, yakni agama Hindu Dharma. Sedikit
perbedaan di antara keduanya adalah masyarakat Tengger masih menganut
kepercayaan dan tradisi lama yang pernah berkembang pada jaman Majapahit
seperti cara bersaji, berkurban, berdoa, menari tarian suci, dan beberapa
bentuk budaya lain yang berbeda dengan yang berkembang di Bali. Perbedaan lain
yang mudah sekali dijumpai adalah tidak berlakunya sistem kasta dalam
masyarakat Tengger seperti halnya yang ada di Bali. Tempat-tempat
pemujaan seperti padmasari, padmasana juga dibangun. Padmasari adalah bangunan
kecil berbentuk gapura yang ditempatkan di depan rumah para penganut agama
Hindu Tengger. Kegunaanya adalah sebagai tempat meletakkan sesaji yang
dilakukan setiap hari Jum’at Legi. Sedangkan Padmasana berada di setiap Pura
yang terdapat di stiap desa sebagai tempat ibadah atau sanggar pemujaan.
Masyarakat
Tengger masih memiliki kepercayaan terhadap roh dan alam gaib. Mereka percaya
bahwa segala sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang dapat menentukan
keberhasilan atau kegagalan usaha manusia.
b. Keluarga
Kehidupan keluarga pada masyarakat
Tengger pada dasarnya sama dengan masyarakat di daerah lain, perbedaannya
terletak pada penekanan adat istiadat setempat Terpenuhinya kebutuhan pangan
belumlah cukup, mereka harus pula memenuhi kebutuhan pakaian. Fungsi pakaian
bagi masyarakat Tengger antara lain adalah sebagai perhiasan badan, lambang
keunggulan dan lambang kesucian. Namun fungsi pakaian yang paling utama bagi
mereka adalah sebagai penahan pengaruh dari alam sekitar. Ini terlihat dari
cara berpakaian setiap orang yang selalu mengenakan sarung dilehernya dimanapun
mereka berada.
Keharmonisan hubungan antar keluarga
menjadi salah satu jalan menuju kesempurnaan hidup, karena itu keharmonisan ini
selalu diperjuangkan oleh masyarakat Tengger.
Masyarakat Masyarakat Tengger tidak mengenal nama
Marga (keluarga) karena di dalam Masyarakat Tengger tidak mengenal Kasta, namun
biasanya cara memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai
keturunan, mereka memanggil nama yang
bersangkutan dengan nama anak pertamanya.
Budaya
Tengger mengharuskan setiap anak laki-laki yang lahir pada hari Wage (sistem
penanggalan jawa) untuk mengenakan anting di telinga kiri. Hingga kini, warga
Tengger masih belum mengetahui maksud dan tujuan budaya itu. Yang mereka tahu,
hiasan telinga ini harus terpasang di telinga kiri. Hanya sesepuh dan dukun
Tengger saja yang memahami makna tersebut.
c. Bahasa
Bahasa
daerah yang digunakan sebagai sarana komunikasi Masyarakat Tengger adalah
bahasa Jawa Tengger, dimana bahasa daerah ini masih berbau Jawa Kuno. Mereka tidak menggunakan tingkatan bahasa, berbeda dengan bahasa
Jawa yang dipakai pada umumnya memiliki beberapa tingkatan.
d. Mata Pencaharian Masyarakat Tengger
Mata pencaharian sebagian besar
masyarakat Tengger adalah bertani atau bercocok tanam, namun mereka tidak mengenal istilah buruh
tani kerena pekerjaan itu dilakukan secara bersama-sama dan bergotong-royong. Cara
bercocok tanam mereka menggunakan sistem terasiring karena letak topografinya,
sementara system irigrasinya tergantung pada curah hujan, kecuali beberapa
lahan yang terjangkau oleh sumber atau atau aliran air sungai.
Tanaman yang ditanam oleh petani Tengger
cukup beragam, diantaranya adalah kubis, kentang, wortel, bawang putih, tomat,
lombok, prei. Daerah pemasaran mereka adalah kota-kota disekitarnya seperti
Pasuruan, Probolinggo dan Surabaya.
Selain
itu masyarakat Tengger juga banyak yang memanfaatkan pengunjung atau wisatawan yang sedang berkunjung
ke Gunung Bromo. Misalnya dengan cara nundan, yaitu menyewakan kuda untuk
transportasi menuju kaki Gunung Bromo, maupun menjual jasa lain dengan menyewakan
kamar-kamar untuk penginapan dan warung-warung makan.
e. Pemimpin Masyarakat Tengger
Masyarakat
Masyarakat Tengger tidak mengenal dualisme kepemimpinan, walaupun ada yang
namanya Dukun adat. Tetapi secara formal pemerintahan dan adat,
Masyarakat Tengger dipimpin oleh seorang Kepala
Desa (Petinggi) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun
diposisikan sebagai pemimpin Ritual / Upacara Adat.
Proses
pemilihan seorang Petinggi, dilakukan dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat, melalui proses
pemilihan petinggi. Sedang untuk pemilihan Dukun, dilakukan melalui beberapa tahapan-tahapan (menyangkut diri pribadi calon Dukun) yang pada
akhirnya akan diuji melalui ujian Mulunen (ujian pengucapan mantra yang
tidak boleh terputus ataupun lupa) yang waktunya pada waktu Upacara Kasada
bertempat di Poten Gunung Bromo.
f.
Sifat
dan Sikap
Masyarakat
Masyarakat Tengger mempunyai sifat yang luhur, jujur dan apa adanya, sedangkan
sikap masyarakat Masyarakat Tengger Ramah Tamah dan Terbuka, menjujung tinggi
rasa persaudaraan dan kegotong royongan.
g. Pemukiman
Umumnya
masyarakat Masyarakat Tengger menempati lembah-lembah dan lereng perbukitan sekitar Gunung Bromo
dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Setiap kelompok pemukiman ini
disebut dusun atau pedusunan yang dalam istilah lain disebut pedukuhan. Dalam
perkembangan sejarahnya, dari beberapa pedusunan akhirya dijadikan sebuah desa.
Perkampungan
orang-orang Tengger sifatnya masih mengelompok dan menyebar. Jarak rumah antara
penduduk yang satu dengan lainnya sangat rapat, sehingga dapat dikatakan hampir tidak ada batasan yang tegas antara
pagar rumah antara orang yang satu dengan pagar rumah orang yang lain. Keadaan
semacam ini hampir merata diseluruh daerah pedesaan yang dihuni oleh masyarakat
Tengger. Menurut mereka, bentuk perkampungan yang tidak mengenal pagar yang
membatasi rumah-rumah penduduk adalah pertanda atau menunjukkan sikap hidup
Masyarakat Tengger yang suka kerjasama dan gotong-royong. (Sudigdho, 26 - 28)
h.
Kesenian
Seni tari Sodor merupakan kesenian tradisional Masyarakat
Tengger, tarian ini merupakan tarian yang sangat sakral bagi mereka dan hanya
boleh dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja.
i.
Sistem Kalender
Masyarakat Tengger
Masyarakat Tengger sudah
mengenal dan mempunyai sistem kalender sendiri, jumlah usia kalender masyarakat tengger berjumlah 30 sampai 31 hari ,tetapi ada perbedaan penyebutan usia hari yaitu
antara tanggal 1 sampai dengan 15 disebut tanggal hari,dan 15 sampai 30 / 31
disebut Panglong
Hari .
Nama-nama hari Masyarakat Tengger:
1.
Dhite : Minggu
2.
Shoma : Senin
3.
Anggara : Selasa
4.
Budha : Rabu
5.
Respati : Kamis
6.
Sukra : Jum’at
7.
Tumpek : Sabtu
Nama-nama bulan Masyarakat Tengger:
1.
Kartika : Kasa
2.
Pusa : Karo
3.
Manggastri : Katiga
4.
Sitra : Kapat
5.
Manggakala : Kalima
6.
Naya : Kanem
7.
Palguno : Kapitu
8.
Wisaka : Kawolu
9.
Jito : Kasanga
10. Serawana :
Kasepoloh
11. Pandrawana : Destha
12. Asuji :
Kasada
Adapun
tahun yang digunakan adalah Tahun Saka (Caka). (Sudigdho, 24 - 25).
B.Upacara
Adat Masyarakat Tengger
Tengger dikenal sebagai tanah hila-hila
(suci) sejak jaman Majapahit, para penghuninya dianggap sebagai abdi
dibidang keagamaan dari Sang Hyang Widi Wasa. Hingga kini Masyarakat masih mewarisi tradisi Hindu sejak jaman kejayaan Majapahit. Agama Hindu di Bali dan di Tengger
pada dasarnya sama yaitu Hindu Dharma, tetapi Masyarakat Tengger tidak mengenal
kasta, dan masih menganut tradisi yang pernah berkembang pada jaman Majapahit.
Akan tetapi mereka kaya akan kepercayaan dan upacara adat, diantaranya :
a.
Upacara Adat Karo
Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara
Karo atau Hari Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita,
mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang,
perabotanpun juga baru,
makanan dan minumanpun melimpah.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang
Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk
kembali pada kesucian dan untuk
memusnahkan angkara murka.
b.
Upacara Kapat
Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat)
menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah
keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
c.
Upacara Kawolu
Upacara ini jatuh
pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji
ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin,
matahari, bulan dan bintang.
d.
Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun
saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa
obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala
desa, untuk dimantrai oleh pandita (dukun). Selanjutnya pandita dan para sesepuh desa membentuk
barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada
Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
e.
Upacara Kasada
Upacara ini diadakan pada saat purnama bulan Kasada
(ke dua belas) tahun saka, upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban.
Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan
seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai dan pameran.
Kasada adalah upacara untuk memohon panen yang
berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit, yaitu
dengan cara mempersembahkan sesaji dengan melemparkannya ke Gunung Bromo.
Sekitar pukul 05.00 pandita dari masing-masing desa,
serta masyarakat Tengger mendaki Gunung Bromo untuk melempar Kurban (Sesaji) ke
Kawah Gunung Bromo. Setelah pandita melempar Ongkeknya (tempat sesaji) baru
diikuti oleh masyarakat lainnya.
Saat prosesi berlangsung, masyarakat Tengger lainnya
beramai-ramai menuruni tebing kawah dan mengambil sesaji yang dilemparkan ke
dalam kawah, sebagai perlambang berkah dari Yang Maha Kuasa. Perebutan sesaji
tersebut merupakan atraksi yang menarik dan menantang sekaligus mengerikan.
Sebab tidak jarang diantara mereka jatuh kedalam kawah.
Menurut cerita Upacara Kasada terjadi beberapa abad yang
lalu, pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang
permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa
sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari kasta Brahma bernama Joko Seger.
Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran
dan bersamaan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan
dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian
menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka
Seger.
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun
pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger,
maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan
damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa
lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumah tangga belum juga dikaruniai keturunan.
Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan
penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar dikaruniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi
mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak
yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger
menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang. Adapun kedua
puluh lima putranya tersebut antara lain :
1.
Tumenggung Klewung
2.
Serita Wiji
3.
Ki Baru Klinting
4.
Ki Rawit
5.
Jiteng Jinah
6.
Ical
7.
Prabu Siwah
8.
Cakar Pranata Aminoto
9.
Tunggul Wulung
10.
Tumenggung Klinter
11.
Raden Bagus Waris
12.
Kaki Dukun
13.
Kaki Pranata
14.
Kaki Perinti
15.
Tunggul Ametung
16.
Raden Mesigit
17.
Puspa Ki Gentona
18.
Kaki Teku Nini Teku
19.
Ki Dadung Awuk
20.
Ki Dumeling
21.
Ki Sindu Jaya
22.
Raden Sapu Jagat
23.
Ki Jenggot
24.
Dunang Diningrat
25.
Raden Kusuma
Namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila
kehilangan anaknya. Kemudian pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji,
Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian
terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan
api. Kesuma anak bungsunya
lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan
hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib “Hai kadang-kadangku kang dak tinggal, podo
urip rukun lan langgeng, menowo reyang ayan dewa Kusuma minongko dadi wakiling
kadang-kadangku kabeh madep marang kang Moho Agunglan minongko panglu arep
nadare wong tuwo, arep liwat menowo wulan kasodo, reyang njaluk kirimi sarwo
barang hasil tandur tuwuh iro”, atau apabila di Bahasa Indonesiakan kurang
lebih sebagai berikut: Hai saudara-saudaraku yang masih hidup, hiduplah yang
rukun dan abadi, biarkanlah saya yang bernama Dewa Kusuma sebagai wakil-wakil
saudara semua menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai janji yang telah
diucapakan oleh kedua orang tua kita, dan jangan lupakan jika bulan Kasada
kirimlah dengan hasil tanam-tanaman kalian.
Kebiasaan ini
diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan
upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
f.
Upacara Unan-unan
Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali.
Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh
Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu
Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat
dari bambu, diarak ke sanggar pamujan.
g.
Upacara Mbobot (kelahiran)
a) Upacara
Neloni ( usia kandungan 3 bulan )
b) Upacara
Sayut ( usia kandungan 7 bulan )
c)
Upacara Among -Among (usia
lahir 40 hari).
(Sudigdho, 21 - 24).
Masyarakat Tengger dan Gunung Bromo
img from http://www.potlot-adventure.com/wp-content/uploads/2009/04/peta-bromo-tengger-semeru.jpg |
Gunung Bromo merupakan salah satu gunung
dari lima gunung yang terdapat di komplek Pegunungan Tengger di laut pasir
(Gunung Batok, Gunung Widodaren, Gunung Kursi, gunung Watangan). Daya tarik
gunung ini adalah merupakan gunung yang masih aktif dan dapat dengan mudah
didaki/dikunjungi. Obyek wisata Gunung Bromo ini merupakan fenomena dan atraksi
alami yang merupakan salah satu daya tarik pengunjung. Kekhasan gejala alam
yang tidak ditemukan di tempat lain adalah adanya kawah di tengah kawah (creater in the creater) dengan
hamparan laut pasir yang mengelilinginya.
Daya
tarik lainnya, adalah bahwa gunung ini merupakan tempat bagi berlangsungnya
acara puncak upacara ritual masyarakat Tengger Kasodo yakni berupa pelemparan hasil bumi
sebagai persembahan ke kawah Gunung Bromo. Upacara inilah yang menarik
wisatawan untuk menyaksikan acara yang hanya berlangsung satu tahun sekali.
Nama Bromo adalah nama untuk Dewa Brama atau Brahma. Dewa
Brahma dalam agama Hindu diakui sebagai Dewa Api. Sebagai gunung berapi, Gunung
Bromo dianggap sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam
manifestasinya sebagai Dewa Brama. (Hefner & Hefner, 1985 : 1)
Nama-nama asli untuk daerah disekitar Gunung Bromo juga
memiliki arti spiritual. Misalnya, wilayah di bawah dari kawah Gunung Bromo
biasanya disebut segara wedi atau laut pasir. Dalam naskah Tantri Kamandaka
(sabuah naskah Hindu dari zaman Majapahit), laut pasir itu digambarkan sebagai
jalan lintasan untuk arwah manusia dalam perjalanan penyucian yang harus
dialami sebelum arwah itu naik ke khayangan. (Hefner & Hefner, 1985 : 2)
Hubungan spiritual antara Gunung Bromo dan Dewa Brahma
juga kelihatan dari tradisi sehari-hari Masyarakat Tengger sampai sekarang ini.
Ada beberapa hal yang menyolok. Misalnya, dalam bahasa Jawa Tengger, berjalan
ke arah Gunung Bromo disebut ngidul atau pergi ke selatan, walaupun Gunung
Bromo itu mungkin tidak sebetulnya terletak di arah selatan desa itu. Contoh
lain: waktu seseorang meninggal dunia, dia dimakamkan ke arah selatan. Demikin
juga, sebagian dari pandita Tengger menghadap ke arah selatan waktu
melaksanakan upacara agama. (Hefner
& Hefner, 1985 : 3)
a.
Lokasi
Gunung Bromo terletak di Kabupaten Pasuruan, mempunyai ketinggian
2.392 meter di atas permukaan laut. Bentuk tubuh gunung Bromo bertautan antara
lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer
persegi.
Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan
garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). (Menhut
No. 278/Kpts-VI/1997).
b.
Iklim
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson,
iklim di kawasan Gunung Bromo termasuk iklim tipe B dengan nilai Q sebesar
14,36% dan curah hujan rata-rata 6604,4 mm/tahun. Kelembaban udara di sekitar laut pasir cukup tinggi
yaitu maksimal mencapai 90 - 97% dan minimal 42 - 45% dengan tekanan udara 1007
- 1015,7 mm Hg. Suhu udara rata-rata berkisar antara 5°C - 22°C. Suhu terendah
terjadi pada saat dini hari di puncak musim kemarau antara 3°C - 5°C bahkan di
beberapa tempat sering bersuhu di bawah O°C (minus). Sedangkan
suhu maksimum berkisar antara 20°C - 22°C. (Menhut No.
278/Kpts-VI/1997).
c.
Flora dan Fauna
a)
Flora
Flora
yang banyak dijumpai di kawasan Bromo adalah mentigi (Vaccinium
varingaefolium), dan cemara gunung (Casuarina junghuniana). Selain itu terdapat
jenis-jenis lainnya diantaranya pakis uling (Cyathea tenggeriensis), putihan
(Buddjleja asiatica), dan senduro (Anaphalis sp.). Juga terdapat 89 jenis
tanaman hias diantaranya, Eddellwiess (Anapholis longifolia), polosari (Alyxia
reinwarditii). Terdapat pula 122 jenis tanaman obat diantaranya, adas
(funnicullum vulgare), semprit (Belamcanda chinensis), (Menhut No.
278/Kpts-VI/1997).
b)
Fauna
Sedikit jenis mamalia yang terdapat di sekitar kawasan
Gunung Bromo diantaranya, Babi hutan (Sus Scrafa), Rusa Timur (Cervus
Timorensis), Serigala dan bajing terbang, macan tutul, trenggiling (mani para
manis javanicus) serta berbagai jenis spesies burung. (Menhut No.
278/Kpts-VI/1997).
Kawasan Gunung Bromo selama
ini telah dikenal masyarakat
luas sebagai obyek wisata alam di Jawa Timur karena keindahan kawah,
lautan pasir dan matahari terbitnya. Masyarakat tengger memiliki banyak
keunikan baik dari ssegi bagasa seni serta budayanya. Beberapa budaya yang
terdapat di tengger antara lain Upacara Adat Karo, Upacara Kapat, Upacara
Kawolu, Upacara Kasanga, Upacara Kasada, Upacara Unan-Unan, dan Upacara Mbabot
(kelahiran).
Dari beberapa upacara yang
paling menyita perhatian ialah Upacara Kasada. Namun demikian upacara ini lebih populer
dibandingkan dengan masyarakat Tengger itu sendiri. Hal ini sangat disayangkan,
karena kehidupan masyarakat Tengger juga menarik untuk diketahui. Dimana
sebuah kehidupan masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat nenek
moyang hingga sekarang dan dimana adat istiadat tersebut mengikat mereka dalam
kehidupan sehari-hari sudah jarang dijumpai.
Masyarakat Tengger sebagai khasanah
kebudayaan lokal membutuhkan perhatian baik dari masyarakat sekitar maupun pemerintah sehingga budaya yang terdapat
didalamnya dapat dipertahankan bahkan dilestarikan karena masyarakat tengger
sendiri salah satu daya tarik di sektor pariwisata. Bahkan peran serta pemerintah agar ditingkat
lagi dan tidak hanya terfokus pada aktivitas pariwisata budaya yang menarik
masa namun juga untuk pelestarian budaya Tengger yang terwujud dalam
tradisi-tradisinya.
Sources: dari berbagai sumber
Sources: dari berbagai sumber
Tulisan dari saudara kosim,dkk (P.Sejarah UNEJ '08)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini kurang lengkap, lengkapilah. Jika salah, benarkanlah. Setitik komentar anda, adalah cermin bagi penulis untuk berusaha lebih baik