Teori kontrak sosial
berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan (Enlightenment) yang
ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia
sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan
secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan
mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Jaman
Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan.
Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di Jaman Pencerahan tidaklah
semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang
berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan
oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang
jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal
kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Idea
atau gagasan tentang kontrak sosial (social contract) telah dikemukakan
oleh Plato, seorang filsuf Yunani (Greek) lebih 2500 tahun yang lalu dalam
tulisannya Republic. Ramai selanjutnya para pemikir besar bidang politik
dan hukum yang terkemudian, menerangkan dan mengembangkan lebih lanjut konsep
kontrak sosial ini, diantaranya adalah Hugo Grotius, Imanuel Kant, John Locke,
Jean Jaques Rousseau dan Thomas Hobbes.
Ahli-ahli
filsafat itu umumnya cenderung bersetuju tentang perlunya kontrak sosial atau
ikatan perjanjian antara eksekutif pemegang otoritas (pemimpin, wakil) dengan
rakyat (konstituen, para pemilih). Ide dasar kontrak sosial itu dibangun
berdasarkan tesis atau premis utama bahwa kekuasaan utama berdirinya suatu
negara terletak pada rakyat banyak (popular sovreignity) dan mandat
rakyat tersebut dapat ditinjau ulang, dibatalkan atau akan ada tindakan
tertentu bila salah satu pihak melakukan ‘pelanggaran kesepakatan’.
Hobbes (1588-1679)
Hobbes menyatakan bahwa secara
kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat
atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan
mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan
kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia
adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa
hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang
tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia
berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya
masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia,
yang meningkatkan keengganan untuk mati. Mengenai semua hal di atas, Hobbes
menulis sebagai berikut:
“So that in the first place, I
put for a generall inclination of all mankind, a perpetuall and restlesse
desire of Power after power, that ceaseth in Death. And the cause of this, is
not intensive delight, than he has already attained to; or that he cannot with
a moderate power: but because he cannot assure the power and means to live
well, which he hath present, without the acquisition of more.” [Thomas Hobbes,
Leviathan, Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd., 1651, cetak ulang
tahun 1983, h. 161.]
Dengan demikian Hobbes
menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari
manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia
menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak
aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi
perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan).
Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah
memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat
mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan
menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga
kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga
itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari
masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga
itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga
keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat
sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk
menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena
pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk
akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang
mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh
hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang
kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat
kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat
sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara
pemerintah dengan yang diperintah.
Locke (1632-1704)
Locke memulai dengan
menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi
berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin
memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke,
manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena
menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan
manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda
dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah
terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia
mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam
pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan
ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama,
apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi
masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah
dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga
pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang
dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum
yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk
memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah,
karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin
keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang
upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara
penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan
kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya
semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon)
pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan
tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An
Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil Government,” dalam
Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]
Locke menegaskan bahwa ada
tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan
kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang
menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara
trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh
pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi
kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara
sepihak.
Dari pemahaman tentang
hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan
atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat
terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai
trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak
nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke
tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat
kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila
hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar
untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual
sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang
dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Perspektif
filsafat Jean Jacques Rousseau (1712-1778) berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak
juga buruk, bukan egois dan bukan altruis. Manusia hidup dengan polos dan
mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat
pergumulannya di tengah masyarakat yang egoistis. Karena rebutan sebidang
tanah, misalnya, manusia dengan mudah menumpahkan darah, saling berperang, dan
membunuh satu sama lain. Agar kepemilikan manusia terjamin kepastiannya,
dibatasi untuk tidak menjadi tak terbatas, bisa menghargai hak-hak satu sama
lain, dan bisa hidup berdampingan secara damai, maka Rousseau menggagas
perlunya kontrak sosial yang menjadi aturan main bersama agar tidak ada pihak
yang dirugikan. Sayangnya, kontrak itu tidak begitu jelas, apakah hanya semacam
niat baik atau kontrak yang harus tertulis. ‘hitam di atas putih’, berisi hak
dan kewajiban serta konsekuensinya secara rinci atau tidak?
JJ
Rousseau ketika berbicara tentang kontrak sosial (social contract),
tampak mengkaitkan kondisi perlunya keikutsertaaan rakyat untuk ikut menentukan
nasib dan masa depan mereka sendiri dengan para calon pemimpin dan wakilnya
yang akan duduk diberbagai posisi politik. Adanya Kontrak sosial, secara
kontekstual, telah melahirkan sentimen moral publik, untuk boleh menentang
setiap bentuk monopoli kebenaran dan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat
atas nama kekuasaan. “…Raja Adil Raja Disembah; Raja Zalim, Raja
Disanggah…”. Kesadaran tentang otoritas warga negara tersebut, dengan
sendirinya melahirkan keniscayan dan telah memicu spirit kekritisan rakyat
pemilih, terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan politik. Dalam prakteknya,
telah melahirkan revolusi sosial/revolusi politik di Perancis (1789), dengan
ciri ditegakkannya keadaaan umum atas dasar hubungan ‘kemerdekaan,
persamaan, dan persaudaraan’.
Filsafat
politik Roousseau, menurut Sabine, cenderung mengagungkan soal
perasaan moral dibandingkan cuma soal akal atau rasio. Roousseau beranggapan
bahwa kebajikan-kebajikan moral, ada terdapat pada rakyat biasa, dalam bentuk
yang murni yang ber-praxis diantara mereka, antara harapan dan kenyataan.
Rakyat biasalah yang merupakan umat manusia, sumber kekuasaan dan legitimasi
para wakil dan pemimpin. Apa yang tidak bersifat kerakyatan, kepentingan
elit tertentu, sebaiknya tidak perlu diperhitungkan dan bila perlu layak
dipertanyakan kepatutannya. Semua manusia adalah sama dalam semua barisan dan
lapisan. Barisan atau lapisan terbesarlah yang cukup patut untuk mendapat
kehormatan tertinggi untuk diperhatikan, mendahului yang tersedikit.
Gagasan
ini memang sudah mendapat kritik dan koreksi dari banyak pihak. Soal dampak
buruk tyrani mayoritas, misalnya, dikoreksi dengan penegakan hukum dan
demokrasi prosedural. Memang, faktanya belum tentu pihak yang terbanyak, itu
yang terbaik dan terbenar jalannya. Walaupun begitu ada yang setuju bahwa suara
rakyat terbanyak adalah suara Tuhan, yang telah mengalami proses uji coba dan
perbaikan diantara orang banyak itu sendiri.
Filsafat
sosial yang dikembangkan Roousseau antara lain adalah individualisme
sistematis, yang diadopsi dari pemikiran John Locke yaitu adanya nilai bahwa
setiap kelompok sosial terdiri atas upaya pencapaian kebahagian atau kepuasan
diri dan adanya perlindungan otoritas untuk mempunyai dan menikmati hak
milik setiap warga negara. Pada hakekatnya manusia tergerak untuk bekerja sama
disebabkan kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing, yang perlu
dihimpun sebagai kehendak umum bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini kurang lengkap, lengkapilah. Jika salah, benarkanlah. Setitik komentar anda, adalah cermin bagi penulis untuk berusaha lebih baik