Identitas budaya suatu
masyarakat tertentu selalu menghadirkan pandangan stereotipe. Begitu pula
halnya dengan identitas budaya Osing. Orang Osing diprasangkai sebagai sosok
yang kasar (tidak punya tata krama), longgar dalam nilai, terutama yang terkait
dengan hubungan antarlawan jenis, dan memiliki ilmu gaib destruktif yang
disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya (Subaharianto, 1996:3).
Di samping citra
negatif tersebut, orang Osing juga dikenal memiliki citra positif yang
membuatnya dikenal luas dan dianggap sebagai aset budaya yang produktif yaitu
1) ahli dalam bercocok tanam; 2) memiliki tradisi kesenian yang handal; 3)
sangat egaliter, dan 4) terbuka terhadap perubahan (Sutarto, 2003).
Tidak berbeda
dengan daerah lain di Jawa, Banyuwangi juga kaya dengan warisan budaya leluhur
yang masih tetap terpelihara dengan baik. Bersih desa yang selalu diadakan setiap tahun sekali pada
seluruh pedesaaan dan kelurahan di Banyuwangi cukup kuat disebut sebagai contoh
untuk hal ini. Pada tradisi selamatan desa itu, masing-masing wilayah memiliki
cara yang khas dalam tata cara pelaksanaannya. Desa Grogol Kecamatan Giri
misalnya, menyelenggarakan selametan desa dengan tontonan tradisional yang
didahului dengan do'a bersama di atas makam leluhur yang dilanjutkan dengan
ider bumi (keliling kampung) di malam harinya. Desa Boyolangu di Kecamatan ang sama melakukan do'a dan makan bersama di
dekat jalan menuju makam umum. Demikian juga malamnya, setelah maghrib warga
berkeliling kampung dengan mengumandangkan adzan di setiap persimpangan jalan.
Tata cara yang serupa juga terjadi di wilayah
kecamatan Giri yang lain seperti Penataban, Jambesari dan
Kelurahan Giri.
Sedikit berbeda
dalam menghormati leluhur yang telah berjasa membuka lahan
untuk pertanian dan permukiman adalah Desa Alasmalang, Bakungan,
Kemiren dan Olehsari. Di Alasmalang, selamatan desa dilakukan dengan mengadakan atraksi
Kebo-keboan. Yaitu beberapa orang dirias seperti kerbau untuk kemudian diarak
mengellilingi desa dengan membawa uba rampe dari hasil pertanian. Arak-arakan juga
dilakukan warga masyarakat Kemiren dalam tradisi selamatan desa, hanya saja di sini mereka
berjalan mengelilingi desa mengiringi Barong. Adapun di Bakungan dan Olehsari,
selamatan itu dilakukan dengan menggelar atraksi Seblang. Seluruh ritual budaya ini
selain sebagai wujud ekpresi keberagamaan juga menandakan dekatnya masyarakat
dengan alam kehidupannya.
Ritual Seblang
Masyarakat
Osing sebagai pewaris dari kebudayaan bumi Blambangan pada dasarnya memiliki
banyak hasil kebudayaan yang menarik untuk dikaji, salah satunya ritual tari
Seblang dan tari Gandrung yang merupakan ikon kota paling
ujung pulau jawa ini. Ritual tari Seblang sendiri sampai sekarang masih
dilestarikan oleh etnis pemiliknya, sebelumnya tradisi ini dilaksanakan oleh hampir
seluruh warga etnis Osing di tanah Blambangan namun seiring berkembangnya
tradisi-tradisi modern tradisi ini hingga saat ini hanya dua desa saja yang masih
melaksanakan upacara ini.
Konsep
Ritual Seblang
Ritual
tari Seblang adalah upacara ritual bersih desa atau selamatan desa yang
diselenggarakan setahun sekali dan kemungkinan dianggap sebagai pertunjukan
yang paling tua di Banyuwangi (Scholte, J., 1927: 149-50; Wol- bers, P.A.
1992:89; 1993:36).
Ritual Seblang
sebagai ekspresi simbolik masyarakat petani pedesaan, khususnya masyarakat Olehsari
dan Bakungan. Ritual ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap roh leluhur yang
dianggap sebagai cikal bakal masyarakat setempat maupun para dhanyang, yaitu sejenis roh yang
menguasai dan menjaga desa yang diyakini hidup berdampingan.
Upacara Seblang
diselenggarakan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas panen yang berhasil,
kesuburan tanah, keselamatan warga desa, penyembuhan penyakit, penghormatan leluhur, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman
desa. Ritual Seblang tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk praktek
sosial, semacam wadah untuk mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan
pengalaman perseorangan untuk memperkecil ketidakpastian, ketegangan, dan
konflik (Geertz, 1989:13).).
Pertunjukan tari Seblang
merupakan acara inti selama upacara berlangsung. Tari Seblang yang berasal dari
ritual pra-Hindu adalah tarian kejiman
atau tarian trance yang ditarikan
oleh seorang gadis atau seorang wanita dewasa dalam keadaan tidak sadarkan diri
karena kemasukan roh leluhur. Pertunjukan tari dengan penari yang tidak
sadarkan diri ini mirip dengan tari Sanghyang
di Bali, Sintren di Jawa Barat, tari Bissu di Sulawesi Selatan, maupun
pertunjukan Nini Thowog. Gerakan tari
Seblang merupakan pantulan kekuatan bawah sadar yang lahir dari rasa ketakutan
dan hormat yang tinggi terhadap kekuatan dan kekuasaan di luar diri manusia, di
samping sugesti yang magis, pantulan asap dupa, mantra, dan nyanyian mistis
berbaur menjadi dasar ungkapan ritme yang merupakan unsur utama tari
(Murgiyanto dan Munardi, 1990:17).
Pelaksanaan
ritual
Ritual tari Seblang masih dilaksanakan di dua
desa dikecamatan Glagah yaitu di desa Bakungan dan Olehsari. tari Seblang di
dua desa tersebut berbeda waktu pelaksanaannya, di desa Olehsari
diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang
bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha. Dalam makalah ini
yang menjadi sasaran adalah ritual Seblang didesa Olehsari.
Proses upacara Seblang
di Olehsari mempunyai ciri khas dan ketentuan tersendiri. Ciri khas pertama
yaitu waktu pelaksanaan ada ketentuannya dan terpilih. Hari pelaksanaan upacara
selalu ditentukan pada hari Senin atau Jum’at di awal bulan Syawal. Pelaksanaannya
antara jam 14.00 sampai kira-kira jam 16.30. Menurut informasi, dulu acara ini
dilaksanakan pada awal tahun Hijriyah (Suro-Jawa), kemudian atas petunjuk
bisikan leluhur dirubah pada bulan Syawal (Sutarto, 2006 ; 3). Upacara ritual
ini dilaksanakan sepekan berturut-turut dan setelah upacara selesai dalam satu
pekan, tepatnya pada hari kedelapan, para pendukung yang dalam hal ini
pesinden, penari dan ibunya harus melakukan siraman dengan maksud mengembalikan
para roh yang menempel di jasad ke alam asalnya. Kemudian setelah semuanya
usai, baru mereka bersama tetangga sekitar lokasi siraman melakukan selametan
dengan do’a bersama dengan cara-cara islami.
Ketentuan yang
kedua mengenai lokasi upacara. Lokasi penyelenggaraan upacara Seblang harus
diadakan di desa Olehsari, tidak boleh dan tidak bisa dilaksanakan di
luar.Dalam hal ini masyarakat setempat selalu teringat peristiwa 80-an yang
mementaskan Seblang di kota Banyuwangi. Akibatnya, sang penari tak mau sadarkan
diri hingga pagi hari. Berhubungan dengan masalah lokasi, tempat ritual harus
menghadap ke timur dan harus ada bangunan kecil yang disebut tarub. Selain itu
ada tempat duduk khusus bagi penari dan pesinden yang berada sedikit di
belakang payung besar yang disebut payung agung. Pada acara ini, tepatnya di hari terakhir penari
bersama seluruh pendukung acara harus berputar mengelilingi desa sambil menari
kemudian berhenti di balai desa, berjalan dan berhenti lagi di makam Mbah Bisu,
dilanjutkan menari sambil terus berjalan sampai ke lokasi awal pemberangkatan
(Misadi, 15 September 2010).
Ketentuan ketiga
berkaitan dengan pelaku upacara, lebih khusus penari. Dalam ritual Seblang ini,
para pelaku harus dipilih dan ditentukan menurut adat yang berlaku. Pemimpin
upacara dipilihkan orang yang dianggap mampu memimpin jalannya upacara.
Saleh (Mbah Saleh) adalah dukun ”khusus” di desa Olehsari
yang dipercaya oleh masyarakat menjadi pimpinan, yaitu untuk ngutugi dan ngundang roh alus. Dalam
pertunjukkan tari, Saleh selulu membawa prapen
(tempat untuk membakar kemenyan atau anglo)
dan mengunyah kemenyan, kemudian ia mengasapi penari sebagai santapan dan
minumannya, “caos
dhahar” katanya.
Selain sebagai
pengutug Saleh juga sebagai pengundang. Maksudnya, ia selain bertanggungjawab
dalam upacara juga bertanggung jawab pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
roh halus terutama ketika pertunjukan tari akan dimulai dan
diakhiri. Sebelum penari melakukan gerak tari terlebih dahulu dilakukan acara
ngundang roh halus supaya merasuk ke sukma penari Seblang. Saat ngutugi
untuk mengundang roh ini ada mantra yang dibaca sebagai berikut :
Kang ana ring pecemengan sembulungan
Kang ana ring Bali Anggenan
Kang ana ring Watudodol
Kang ana ring Antogan ring weringin
Mbah Jalil, Buyut Ketut, para Alus
Kang petang pucuk papat tekoho merene, Mbah Jalil Gandrungan
Aji Anggring, Buyut Saridin, kang ana ring Kawah Ijen sang pengutug
Mereneyo dianteni ring pendopo agung (Saleh, 14 September 2010).
Penari yang
dipilih harus mempunyai
garis keturunan dari seorang penari Seblang. Garis keturunan itu bisa dari ibu atau bapak yang penting memiliki
darah dari para sesepuh ritual ini. Adapun kesucian, yang berarti belum pernah
menstruasi,
atau belum pernah bersuami, pada masa sekarang ini bukan menjadi masalah.
Terbukti beberapa kali penari Seblang justru terpilih dari seorang janda yang
masih muda. Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan
biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari Seblang sebelumnya. Di desa
Olehsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan,
penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid
(menopause).
Pelaku yang lain
seperti pembuat omprok, perias, penabuh, dan pendamping penari adalah
orang-orang khusus yang dipilih dengan dasar adat masyarakat Olehsari.
Orang-orang tersebut, selain mempunyai skill di bidangnya masing- masing juga
masih ada jalinan keluarga dengan para sesepuh yang merupakan pelaku upacara Seblang
terdahulu. Ketentuan lain, mereka harus berdomisili di desa Olehsari.
Tata cara dan
ketentuan lain yang juga merupakan ciri khas sebuah upacara ritual adalah sajen
(sesaji)
yang merupakan syarat pokok yang
tidak boleh ditinggalkan. Untuk menyediakan sajen ini, sehari sebelum
pelaksanaan upacara sudah harus dipersiapkan lebih dulu mengingat banyaknya
sajen dan banyaknya macam uba rampe yang harus disajikan.
Sesaji yang dibuat merupakan memiliki banyak jenis
seperti sajen buangan, yang
artinya sesaji tersebut dibuang atau dihantarkan ke tempat-tempat keramat
seperti di sumber mata air dan pemakaman. Sesaji buangan ini diteliti dan dimantra-mantrai oleh
sang dukun sebelum upacara berlangsung. Sajen ini terdiri dari : kembang telon,
yang terdiri dari bunga kanthil, kenanga dan mawar. Sajen ini juga berupa
kepala ayam, brutu ayam, jeroan, sayap dan kaki ayam. Di samping itu,
sajen-sajen tersebut disertai pula ragi kuning dan air dalam cangkir atau gelas
kecil. Sajen
kedua berupa buah-buahan (rujakan) dan kinangan. Jenisnya berupa jambu, kedondong,
nanas, mentimun, belimbing, jeruk, pisang mas, rambutan, manggis, buah sirsat
dan air dalam kendi, sedangkan kinangan berupa wadah kinangan dan perabotnya.
Sajen ini
ditempatkan pada tempat yang telah ditentukan.yaitu di bawah atap atau di atas tempat
duduk pesinden. Sajen ketiga disebut sajen peras yang terdiri dari: satu buah
kelapa yang telah dikupas kulitnya, dua tangkep pisang raja, satu tangkep gula
jawa, dan ragi kuning. Sajen ini penempatannya di bawah payung agung atau
dibawah gong. Sajen peras, sajen rujakan, dan sajen kuningan semuanya disebut
sajen cawisan Selain dari sajen-sajen tersebut di atas, masih ada sajen yang
harus disajikan di tarub.
Sajen tersebut
berupa buah-buahan, biji-bijian, sayur-sayuran, obat-obatan tradisional (empon-empon),
dan bunga-bungaan. Semua itu digantung di atas pesinden atau tergantung pada
atap tarub. Sesaji ini biasa disebut dengan para bungkil. Sajen-sajen itu semua
nantinya diperebutkan oleh penonton maupun para pelaku setelah acara selesai.
Hal ini dimaksudkan sebagai ngalap berkah atau ngelorot dari benda-benda yang dipakai
dalam upacara.
Musik pengiring Seblang
hanya terdiri dari satu buah kendang, satu buah kempul atau gong dan dua buah
saron. Sedangkan di Olehsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek
musikal. Dari segi busana, penari Seblang di Olehsari dan Bakungan mempunyai sedikit
perbedaan, khususnya pada bagian omprok atau mahkota.
Tari Seblang ini
dimulai dengan upacara yang dibuka oleh sang dukun desa atau pawang. Sang
penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang berada dibelakangnya, sambil
memegang tempeh (nampan bambu). Sang dukun mengasapi sang penari dengan asap dupa
sambil membaca mantera. Setelah sang penari kesurupan (tak
sadarkan diri atau kejiman dalam istilah lokal), dengan
tanda jatuhnya tempeh tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Si Seblang yang sudah
kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan mengikuti arah
sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan. Kadang juga
berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari, kemudian si Seblang
melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton yang terkena
selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka dia
akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.
Dan dipercaya mereka yang menolak akan memperoleh musibah atau kasengsaran.
Fungsi Ritual
Ritual Seblang
memiliki banyak fungsi bagi masyarakat penganutnya, yaitu antara lain:
Sebagai
sarana bersih desa
Upacara Seblang
memiliki fungsi sebagai sarana bersih
desa atau slametan dalam istilah
jawa. Seperti halnya bersih desa di tempat lain di jawa bersih desa melalu
ritual Seblang ini ditujukan agar kehidupan satu tahun kedepan desa Olehsari
selalu dilimpahkan kebahagiaan, dan ketentraman serta keamanan desa. Selain itu
dipercaya ritual ini sebagai sarana tolak balak.
Sebagai
pengundang kesuburan
Ritual Seblang
juga difungsikan sebagai sarana untuk mengundang kesuburan, hal ini dikarenakan
mayoritas penduduk desa adalah masyarakat agraris dan dalam kosmologi jawa
dipercaya adanya dewi kessuburan (Dewi Sri di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan Nini
Towog di Jawa Barat) melalui ritual Seblang ini diharapkan pada masa panen akan
mendapatkan hasil yang melimpah
Sarana Pengobatan Penyakit
Bukan
rahasia umum bahwa ritual-ritual di daerah jawa yang segender dengan ritual Seblang,
sesajian yang diperebutkan dipercaya dapat memberikan kebahagian, dan kesehatan
dan bahkan lebih dari itu ada keyakinan dapat digunakan untuk mempermudah
jodoh. Sehingga Seblang juga difungsikan sebagao sarana pengobatan masyarakat
pendukungnya
Penghormatan Leluhur
Alasan
utama Seblang masih dapat menjaga eksistensinya adalah rasa hormat penduduk
akan leluhur mereka, mereka percaya dengan memanjatkan do’a-do’a bagi leluhur
akan mempermudah mewujudkan cita-cita desa atas kehendak Tuhan YME.
Hiburan Roh Halus
Fungsi yang terakhir adalah sebagai hiburan,
karena eksotisme ritual Seblang baik secara langsung atau tidak telah menarik
wisatawan domestic dan bahkan asing untuk turut menyaksikannya. Hal ini
dikarenakan meskipun penuh dengan aroma mistis, dan sendu (lewat tembang yang
dilantunkan) ritual Seblang dapat menghibur dengan tingkah polah penari yang
sedang kesurupan.
Makna Social Kultural Ritual Seblang
Tari Seblang masih
dilestarikan hingga saat ini berkaitan dengan makna social-cultural yang terssimpan
dibalik pelaksanaan ritual ini. Meskipun sebagian besar masyarakat penganutnya
telah beragama islam namun mereka beranggapan bahwa mereka harus
melestarikannya sebagai warisan budaya. Toh, dunia ini berisi mahluk yang
Nampak dan tak Nampak. Mereka beranggapan agar kehidupan ini selaras mereka
harus dapat berdampingan antara yang Nampak dan tak Nampak. Secara filosofis
ritual Seblang dipercaya dapat menyelaraskan kehidupan antar sesame manusia,
alam, mahluk ghoib yang mendiami desanya.
Sebagai siklus yang
dianggap sakral, upacara Seblang sarat dengan simbol-simbol yan\g
mengelilinginya. Hal ini terlihat dari ciri-ciri khas dalam pelaksanaannya,
seperti: (1) waktu upacara harus merupakan waktu terpilih; (2) tempat
penyelenggaraan upacara harus tempat terpilh; (3) orang yang diupacarakan harus
dalam keadaan bersih secara spiritual; (4) upacara harus dipimpin oleh orang
terpilih; dan (5) sesaji merupakan pe- lengkap upacara yang tidak boleh
ditinggalkan (Soedarsono, 1990:4). Se- lain itu, simbol-simbol dapat terlihat
dari setiap tahapan yang harus dilalui pelaku Seblang selama upacara
berlangsung. Simbol bagi Ricoeur diru- muskan sebagai sejenis struktur yang
signifikan yang mengacu pada se- suatu secara langsung dan mendasar dengan
makna literal dan ditam- bahkan lagi dengan makna yang lain, yakni makna yang
mendalam (secondary meaning) dan figuratif. Hal ini dapat terjadi apabila
menembus makna yang yang pertama (1988:12).
Tari
Gandrung
Sejarah Tari Gandrung
Menurut catatan
sejarah, Gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani
seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang
mengiringi tarian Gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola
telah digunakan. Namun demikian, Gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari
Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang
segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari Gandrung
laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari
terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah
sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan,
mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang
angker.
Gandrung
wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah Gandrung Semi, seorang anak
kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut
cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah.
Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung
sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing”
(Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).
Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak
baru dengan ditarikannya Gandrung oleh wanita.
Tradisi Gandrung
yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan
menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian
terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada
mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari Gandrung
sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan
keturunan Gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber
mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak
sejak akhir abad ke-20.
Sebenarnya kesenian
Gandrung merupakan suatu wujud tarian terima kasih para masyarakat desa kepada
dewi padi atau dewi Sri karena telah melimpahkan hasil panen yang melimpah.
Seorang
penari Gandrung yang tergabung dalam kelompok kesenian Gandrung banyak hidup
sendiri dan kurang disukai oleh masyarakat. Citra buruk
Gandrung di era 70 – 90an masih sangat erat melekat dalam diri Gandrung.
Dijadikannya Gandrung sebagai prostisusi terselubung oleh sekelompok orang
semakin menyudutkan posisi Gandrung. Selain itu juga banyak penari Gandrung
yang menjadi simpanan pejabat dari pejabat tingkat desa sampai kabupaten.. Noda
itulah yang mencemari citra Gandrung, padahal tidak semua penari Gandrung
berbuat buruk (Dedy Luthan, 1990 : 19)
Menurut Wiwik
Sumartin dan Sudarti yang merupakan Gandrung senior di Banyuwangi, kesakralan
kesenian Gandrung dari tahun ketahun semakin memudar. Tari Gandrung yang
diyakini mempunyai pertalian erat dengan tari Seblang Bakungan menjadi tarian biasa yang tidak memerlukan
ritual tertentu. Padahal pada jaman dahulu sampai tahun 2000-an seorang penari Gandrung
apabila mau melakukan suatu pertunjukan maka terlebih dahulu melakukan
ritual-ritual khusus seperti, Puasa putih 1 – 3 hari. Nyekar di makam almarhum
Semi sebagai pemrakarsa Gandrung perempuan pertama. Melakukan ritual ringan
yang lain seperti berdoa bersama dan luluran menggunakan syarat-syarat tertentu.
Proses pertentangan
budaya Gandrung dengan budaya islam terjadi dalam berbagai kesempatan. Dalam
tahun 1996 sempat terjadi kontak sosial masyarakat yang menolak pembangunan
patung Gandrung di depan pelabuhan ketapang Banyuwangi tepatnya di sebrang jalan
masjid ketapang (Novi Anoegrajekti, 2007 :72). Hal ini membuktikan bahwa agama
dan budaya islam sangat bertentangan dengan budaya dan kesenian Gandrung. Namun
perbedaan pandangan tersebut dapat terselesaikan dengan proses penyelarasan
pendapat tentang kesenian Gandrung. Hal ini demi kemajuan kesenian daerah yang
berdampak juga bagi kemajuan suatu daerah.
Tahun 1997-2002
merupakan masa transisi kesenian Gandrung, dimana kesenian Gandrung mencoba
mengubah image masyarakat tentang cerita buruk kesenian Gandrung tempo dulu. Di
masa ini kesenian Gandrung Banyuwangi sangat jarang muncul dipublik. Kalaupun
ada itupun berada diluar wilayah Banyuwangi. Namun segi budaya, Gandrung
memberikan banyak masukan bagi kabupaten Banyuwangi. Sebagai kesenian daerah Banyuwangi,
Gandrung banyak memperkenalkan budaya Banyuwangi lewat berbagai penampilannya
di berbagai daerah.
Pada periode 2002 –
2006, diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap penari Gandrung menjadi
terkikis dan menghilang. Hal ini disebabkan selain adanya pengakuan terhadap
kesenian Gandrung, juga merupakan dampak dari pergeseran Gandrung dari kesenian
rakyat menjadi kesenian elit daerah Banyuwangi. Penari Gandrung sendiri
mengalami perkembangan dimana sebelum tahun 1996 penari Gandrung adalah seniman
Gandrung yang benar-benar penari Gandrung sejak kecil, pada periode 1997 – 2002
penari Gandrung banyak didominasi pelajar sekolah menengah atas atau kelompok
remaja putri, sedangkan pada periode tahun 2002 – 2006 penari Gandrung adalah
remaja putri yang banyak yang berpendidikan tinggi seperti dari perguruan
tinggi dan anak-anak kecil dari sekolah dasar. Kalaupun ada penari Gandrung
lainnya adalah penari Gandrung hasil dari pendidikan Gandrung dalam acara meras
Gandrung yang diadakan tiap tahun.
Pada pemerintahan
Ratna Ani Lestari berlangsung proses multikultural yang menekankan pada
identitas lokal Osing yang berdampingan dengan budaya local daerah lain. Hal
tersebut tampak dalam parade kesenian dalam peringatan ulang tahun Banyuwangi,
dimana Gandrung tampil bersama dengan berbagai macam adat dan budaya daerah
lain seperti Bali, Madura dan Surabaya serta Ponorogo. Multikultural mempunyai dampak positif bagi
perkembangan Gandrung karena Gandrung dapat belajar dari kesenian daerah lain
dalam hal proses pengembangan dan pemasyarakatan Gandrung ( Novi Anoegrajekti,
2007 : 38)
Makna Filosofis Tari Gadrung
Secara
filosofis tari Gandrung memiliki arti yang semi-sakral karena pada awal
kemunculannya seorang penari Gandrung harus melakukan ritual-ritual khusus yang
harus dilaksanakan seperti puasa mtih 3 hari, berziarah ke makam Mbah semi dan
ritual lain. Pada dasarnya tari Gandrung merupakan perwujudan kecintaan
masyarakat Blambangan pada dewi padi atau dewi Sri. Berbeda dengan tari Seblang yang dibawakan oleh gadis dibawah umur atau perempuan
yang telah menopause, sebagai tari pergaulan tari Gandrung dibawakan oleh gadis
belia atau janda. Ada aspek penting dalam tradisi Gandrung, gadis ataupun janda
yang menjadi penari Gandrung harus meninggalkan profesinya jika telah menikah.
Hal ini dikarenakan makna filosofis kata Gandrung harus benar-benar terwujud
sehingga penari tersebut benar-benar menemukan cintanya dan dapat terwujud
perkawinan yang harmonis, namun tidak sedikit juga penari Gandrung yang memilih
menjadi perawan tua untuk menjaga eksistensinya sebagai penari Gandrung.
Terdapat
sumber lain pula yang mengisahkan bahwa tari Gandrung yang berdasarkan kata Gandrung
merupakan perwujudan kekecewaan rakyat Blambangan atas keserakahan
kerajaan-kerajaan di nusantara. Bumi Blambangan
(mencakup Lumajang, Jember, Bondowoso, situbondo dan pusatnya di Banyuwangi)
yang digambarkan sebagai sosok wanita cantik yang selalu diperebutkan oleh
kerajaan-kerajaan di nusantara. Hal ini dapat dilihat dari sejarah negari Blambangan
dimana setelah lepas dari majapahit, tidak serta merta merdeka karena
ancaman-demi ancaman manghantui negari blambagan. Tercatat kerajaan Demak, Mataram,
dan kerajaan-kerajaan di Bali berusaha menaklukan bumi Blambangan.
Dalam sebuah buku yang diterbitkan DKB 2003 disebut
bahwa: “Kesenian Gandrung tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan
sebuah masyarakat (Osing). Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang
bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam
kesejarahan masyarakat Osing.” (hal. 62). Dan gambar perlawanan itu hanya
tampak dalam sebuah pertunjukan yang menyajikan babak-babak secara sempurna
(jejer, paju, dan Seblang-Seblang), lagu-lagu “asli” Gandrung atau lagu-lagu Osing,
tari ukir-kawin atau prapatan, musik bukan Jawa dan bukan pula Bali, dan bersih
dari minuman keras.
Komunitas Osing, begitu hasil-hasil penelitian
menyebutkan, mempunyai sejarah panjang di mana mereka berada dalam tekanan
struktural politik dan kultural yang menyudutkan. Majapahit, Demak, Mataram,
Buleleng, dan VOC adalah pusat-pusat kekuasaan politik yang menginvasi dan
memperebutkan Banyuwangi dengan implikasi serius bagi penduduknya. Perlawanan
keras Menakjinggo terhadap Majapahit bukan saja dianggap bukti pembangkangan
politik tetapi juga sekaligus mewariskan tafsir, konstruksi, stereotipe, bahkan
stigma terhadap komunitas Osing. Prototipe Menakjinggo dalam ketoprak Mataram
yang buruk rupa merupakan pencitraan negatif terhadap Osing yang menganggapnya
sebagai tokoh legendaris yang selalu membela rakyat. Begitu pula
ungkapan-ungkapan “tukang santet”, “pemalas”, “ekslusif”, dan seterusnya yang
berkembang luas di kalangan masyarakat Jawa.
Erotisme Tari Gandrung
Tari Gandrung memang dipandang sebagai tari yag erotis, meskipun
pada dasarnya unsur-unsur erotis tersebut kurang dapat ditemukan dalam tarian Gandrung.
Kesan erotis ini muncul seirng pergeseran tari Gandrung dari sacral lebih kearah tari
pergaulan di tahun 1960an. Acap kali tari Gandrung dimanfaatkan sebagai ajang
mengumbar nafsu dan praktek prostitusi terselubung. Setidaknya sampai tahun
1990an banyak kelompok-kelompok masyarakat yang memojokkan penari Gandrung
lebih-lebih banyak penari yang menjadi simpanan pejabat pemerintah. Keadaan ini
menyebabkan penari lain yang turut dikucilkan mulai melakukan pertunjukan
diluar Banyuwangi dan Gandrung semakin berkibar trutama di daerah ibukota.
Selain itu pertentangan juga sering terjadi antara golongan islam dan para
budayawan namun setelah diadakan penyelarasan pendapat mengenai Gandrung
pertentangan tersebut dapat direda.
Tari Gandrung
berkembang pesat semenjak taun 2000 dimana terjadi perubahan besar dengan
dijadikannya Gandrung sebagai ikon kota Banyuwangi. Menyikapi perkembangan
gadrung saat ini tari Gandrung sendiri menurut penyusun terpecah menjadi dua
sebut saja Gandrung putih dan merah. Saat ikon kota Banyuwangi ini digencarkan
ada beberapa kelompok penari Gandrung yang memanfaatkan sebagai ajang
prostitusi, biasanya dalam acara tersebut berjajar ratusan botol miras dan
beberapa pramuria yang bukan penari Gandrung. meskipun belum ada perhatian dari
pemerintah namun yang kata wong Banyuwangi/kulonan (orang Banyuwangi non-Osing)
disebut tayube wong Osing kini mulai merubah citra baik penari Gandrung yang
mulai dibangun. Sedikit banyak fenomena
ini mulai menghawatirkan budayawan Banyuwangi yang berusaha mempertahankan
eksistensi Tari Gandrung.
Simpulan
Ritual tari Seblang
adalah upacara ritual bersih desa atau selamatan desa yang diselenggarakan
setahun sekali dan kemungkinan dianggap sebagai pertunjukan yang paling tua di Banyuwangi
(Scholte, J., 1927: 149-50; Wol- bers, P.A. 1992:89; 1993:36). Ritual Seblang
sebagai ekspresi simbolik masyarakat petani pedesaan, khususnya masyarakat Olehsari
dan Bakungan. Upacara Seblang diselenggarakan sebagai ungkapan rasa terima
kasih atas panen yang berhasil, kesuburan tanah, keselamatan warga desa,
penyembuhan penyakit, penghormatan cikal-bakal, dan mengusir roh-roh jahat yang
mengganggu ketentraman desa. Ritual Seblang tersebut diang- gap sebagai salah
satu bentuk praktek sosial, semacam wadah untuk mempertemukan berbagai aspek
kehidupan sosial dan pengalaman perse- orangan untuk memperkecil
ketidakpastian, ketegangan, dan konflik
(Geertz, 1989:13).).
Pelaksanaan ritual tari Seblang masih dilaksanakan di dua desa dikecamatan
Glagah yaitu di desa Bakungan dan Olehsari. Tari Seblang di dua desa tersebut
berbeda waktu pelaksanaannya, di desa Olehsari diselenggarakan satu minggu
setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan,
diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha. Proses upacara Seblang di desa Bakungan
Olehsari mempunyai ciri khas dan ketentuan tersendiri. Pemimpin upacara
dipilihkan orang yang dianggap mampu memimpin jalannya upacara.Saleh (Mbah Saleh) adalah dukun
”khusus” di desa Olehsari yang dipercaya oleh masyarakat menjadi pimpinan,
yaitu untuk ngutugi dan ngundang roh alus. Ritual Seblang memiliki banyak fungsi
bagi masyarakat penganutnya, yaitu antara lain: Sebagai sarana bersih desa, Sebagai pengundang kesuburan, Sarana Pengobatan Penyakit, Penghormatan Leluhur, Hiburan
Roh Halusl.
Menurut catatan
sejarah, Gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani
seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang
mengiringi tarian Gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola
telah digunakan. Namun demikian, Gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari
Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang
segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari
Gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian
penari terakhirnya, yakni Marsan.
Gandrung wanita
pertama yang dikenal dalam sejarah adalah Gandrung Semi, seorang anak kecil
yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang
dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara
sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga
ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken
Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang,
kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan
Seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya Gandrung oleh wanita. Menurut
sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat
hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang
angker.
Secara filosofis tari Gandrung memiliki arti yang
semi-sakral karena pada awal kemunculannya seorang penari Gandrung harus
melakukan ritual-ritual khusus yang harus dilaksanakan seperti puasa mtih 3
hari, berziarah ke makam Mbah semi dan ritual lain. Pada dasarnya tari Gandrung
merupakan perwujudan kecintaan masyarakat Blambangan pada dewi padi atau dewi
sri.
Referensi
Ali,
Hasan. 2005. Dari Sawah Turun ke Gandrung dan Kuntulan. Banyuwangi : Jejak
edisi ke-empat tahun 2005
Anoegrajekti,
Novi. 2003. Gandrung Demi Hidup Menyisir Malam. Depok : Majalah Srintil edisi 3
tahun 2003. Desantara
Anoegrajekti,
Novi. 2007. Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi. Depok : Majalah
Srintil edisi 12 2007. Desantara
Anoegrajekti,
Novi. Seblang Using: Studi Tentang Ritus Dan Identitas Komunitas Using. 2003.
Jurnal Bahasa dan Seni Agustus 2003 Fakultas Sastra Universitas Jember:Jember
Anonym.
2001. Tari Gandrung dan Upacara Seblang. Tersedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/.
diakses pada 8 Maret 2011
BS,
Hayadi. 1985. Gandrung dan Sejarahnya Asal muasalnya yang Membingungkan.
Surabaya : Jawa Pos Edisi Saptu paing 25 Mei 1985
Effendy,
Bisri. 2008. Membaca Pariwisata
Seni-Budaya: Tari Gandrung Banyuwangi. dalam http://www.puspek.averroes.or.id/2008/05/09/ membaca-pariwisata-seni-budaya-tari-Gandrung-Banyuwangi/
diakses pada 8 Maret 2011
Kholil,
Ahmad . Seblang dan Kenduri Masyarakat Olehsari. 2010. Jurnal ACIS Ke-10,
November 2010:Banjarmasin.
Kusnadi.
1993. Simbolisme Tari Seblang. Jember: Laporan Penelitian UNEJ.
Mahfud.
Tari Gandrung. Tersedia dalam http://www.sejarahbanyuwangi.com/.
Diakses pada 8 Maret 2011
Suartaya,
Kadek. Banyuwangi Hormati Erotisme Gandrung. 2011. Kiriman Kadek Suartaya,
Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar via e-mail tidak diterbitkan.
Subagyo,
Hadi. 1998. Fungsi Ritual Seblang pada
masyarakat Olehsari Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Tesis. Yogyakarta: Program
Pasca Sarjana UGM.
Sutarto,
Ayu. Sekilas Tentang Masyarakat Using. 2006. Makalah dalam acara pembekalan
Jelajah Budaya 2006 : Jember
Suyono
Joko dan Suwarno. Tari Gandrung Banyuwangi:Sebuah Potret Sejarah seni
Pertunjukan. Universitas Negeri Malang : Malang
“Jika tulisan ini kurang lengkap, lengkapilah. Jika salah,
benarkanlah. Setitik komentar pembaca, adalah cermin bagi penulis untuk
berusaha lebih baik”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika tulisan ini kurang lengkap, lengkapilah. Jika salah, benarkanlah. Setitik komentar anda, adalah cermin bagi penulis untuk berusaha lebih baik