Minggu, 25 Maret 2012

Masyarakat Tengger

img from http://habibmaulana.com/wp-content/uploads/2011/01/tengger_04.jpg
Masyarakat Tengger adalah sebuah masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Bromo, Jawa Timur, menempati sebagian wilayah kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Menurut legenda, asal-usul masyarakat tersebut dari kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri. Masyarakat Tengger umumnya hidup sebagai petani ladang. Prinsip mereka adalah tidak mau menjual tanah (ladang) pada orang lain.
Masyarakat yang berdiam di Bromo ini sangat mudah dikenali karena selalu menggenakan sarung, dalam istilah mereka disebut kawengan. Sarung digunakan sebagai baju atau jaket penghangat dari serangan angin dingin yang menusuk tulang, selain harganya murah, sarung mudah didapat dibandingkan pakaian hangat lainnya. Mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama lain yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Katolik.
Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasodo. Selain Kasodo, upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat masyarakat keturunan Joko Seger dan Roro Anteng ini. Orang-orang masyarakat Tengger dikenal taat dengan aturan adat juga agama dan meyakini bahwa mereka keturunan langsung dari Majapahit.
Maka dari itu, perlu untuk mengetahui segala sesuatu secara rinci tentang masyarakat tengger baik dibidang social, budaya, dan sebagainya karenamasyarakat tengger merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki oleh nusantara.

Asal-usul Masyarakat Tengger

Masyarakat Tengger merupakan penduduk asli di sekitar Gunung Bromo. Keberadaan Masyarakat Tengger ditandai dengan adanya kepercayaan atau legenda mengenai masyarakat tersebut. Untuk dapat mengungkapkan terbentuknya masyarakat Tengger, digunakan sumber lisan maupun cerita rakyat yang diyakini kebenarannya, baik itu oleh masyarakat Tengger sendiri maupun oleh masyarakat luar sekitar pegunungan Bromo.
Menurut legenda, asal-usul masyarakat Tengger berasal dari Kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri saat Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng (putri raja Majapahit) dan Jaka Seger (putra seorang Brahmana).
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger yang Budiman".
Nama Tengger menurut keyakinan masyarakatnya berasal dari perpaduan kata Roro Anteng dan Joko Seger. Selanjutnya untuk mengenang keduanya, maka masing-masing masyarakat kata tersebut digabungkan sehingga terbentuk kata “Tengger”. Kata itu mempunyai makna tenggering budi luhur, artinya sebagai tempat yang didiami oleh orang-orang yang berbudi luhur. (Slamet Mulyana, 1979: 199-200).
Menurut sumber cerita yang lain dari masyarakat diluar masyarakat Tengger atau orang bawah, nama Tengger berasal dari kata Tetengger yang artinya dapat diidntifikasikan. Di sini dimaksudkan bahwa identifikasi tersebut tidak dilihat dari fisik manusianya melaikan dilihat dari non fisik seperti bahasa dan cara berpakaiannya.
Asal mula cerita rakyat tersebut bermula dari bahasa yang menjadi alat komunikasi Masyarakat Tengger. Beberapa kata yang terdapat dalam Bahasa Tengger terdapat kata-kata yang khas dan tidak sama dan tidak sama dengan kata-kata yang dipakai oleh orang bawah, misalnya dalam penyebutan aku laki-laki dalam bahasa orang Tengger disebut reyang dan penyebutan aku perempuan disebut isun, selain itu ucapan bahasa mereka agak berbeda bila dibandingkan dengan ucapan bahasa orang bawah meskipun kata-katanya sama. Selain identifikasi bahasa yang dapat membedakan orang Tengger dengan orang bawah adalah hal berpakaian. Setiap orang Tengger selalu memakai pakaian tambahan, seperti sarung yang diletakkan di atas pundaknya dan setiap mereka kemanapun selalu memakainya.
Identifikasi bahasa dan cara berpakaian mereka diketahui apabila turun gunung, maka orang luar sekitar Pegunungan Tengger atau orang bawah dapat mengidentifikasi (tetengger) bahwa mereka orang atas atau orang Tengger. (Hariadi, 2003: 38-39)

A.Profil Masyarakat Tengger

Kekhasan masyarakat Tengger dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain dari upacara adat, agama dan kepercayaan, kehidupan di keluarga, kehidupan di lingkungan dan cara bercocok tanam.
a.       Agama Masyarakat Tengger
Masyarakat Tengger mewarisi tradisi Hindu pada jaman Kerajaan Majapahit. Ini dapat terlihat dari tata cara praktek ritual keagamaannya yang masih terpelihara utuh hingga sekarang. Sejak awal Kerajaan Majapahit nama Tengger sudah dikenal dan diakui sebagai tanah hila-hila yang berarti tanah suci. Penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang kerohanian dari Sang Hyang Widi Wasa.
Agama Hindu di Bali dan di Tengger pada dasarnya sama, yakni agama Hindu Dharma. Sedikit perbedaan di antara keduanya adalah masyarakat Tengger masih menganut kepercayaan dan tradisi lama yang pernah berkembang pada jaman Majapahit seperti cara bersaji, berkurban, berdoa, menari tarian suci, dan beberapa bentuk budaya lain yang berbeda dengan yang berkembang di Bali. Perbedaan lain yang mudah sekali dijumpai adalah tidak berlakunya sistem kasta dalam masyarakat Tengger seperti halnya yang ada di Bali. Tempat-tempat pemujaan seperti padmasari, padmasana juga dibangun. Padmasari adalah bangunan kecil berbentuk gapura yang ditempatkan di depan rumah para penganut agama Hindu Tengger. Kegunaanya adalah sebagai tempat meletakkan sesaji yang dilakukan setiap hari Jum’at Legi. Sedangkan Padmasana berada di setiap Pura yang terdapat di stiap desa sebagai tempat ibadah atau sanggar pemujaan.
Masyarakat Tengger masih memiliki kepercayaan terhadap roh dan alam gaib. Mereka percaya bahwa segala sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan usaha manusia.
b.      Keluarga
Kehidupan keluarga pada masyarakat Tengger pada dasarnya sama dengan masyarakat di daerah lain, perbedaannya terletak pada penekanan adat istiadat setempat Terpenuhinya kebutuhan pangan belumlah cukup, mereka harus pula memenuhi kebutuhan pakaian. Fungsi pakaian bagi masyarakat Tengger antara lain adalah sebagai perhiasan badan, lambang keunggulan dan lambang kesucian. Namun fungsi pakaian yang paling utama bagi mereka adalah sebagai penahan pengaruh dari alam sekitar. Ini terlihat dari cara berpakaian setiap orang yang selalu mengenakan sarung dilehernya dimanapun mereka berada.
Keharmonisan hubungan antar keluarga menjadi salah satu jalan menuju kesempurnaan hidup, karena itu keharmonisan ini selalu diperjuangkan oleh masyarakat Tengger.
Masyarakat Masyarakat Tengger tidak mengenal nama Marga (keluarga) karena di dalam Masyarakat Tengger tidak mengenal Kasta, namun biasanya cara memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai keturunan, mereka  memanggil nama yang bersangkutan dengan nama anak pertamanya.
Budaya Tengger mengharuskan setiap anak laki-laki yang lahir pada hari Wage (sistem penanggalan jawa) untuk mengenakan anting di telinga kiri. Hingga kini, warga Tengger masih belum mengetahui maksud dan tujuan budaya itu. Yang mereka tahu, hiasan telinga ini harus terpasang di telinga kiri. Hanya sesepuh dan dukun Tengger saja yang memahami makna tersebut.
c.       Bahasa
Bahasa daerah yang digunakan sebagai sarana komunikasi Masyarakat Tengger adalah bahasa Jawa Tengger, dimana bahasa daerah ini masih berbau Jawa Kuno. Mereka tidak menggunakan tingkatan bahasa, berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai pada umumnya memiliki beberapa tingkatan.
d.      Mata Pencaharian Masyarakat Tengger
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Tengger adalah bertani atau bercocok tanam, namun mereka tidak mengenal istilah buruh tani kerena pekerjaan itu dilakukan secara bersama-sama dan bergotong-royong. Cara bercocok tanam mereka menggunakan sistem terasiring karena letak topografinya, sementara system irigrasinya tergantung pada curah hujan, kecuali beberapa lahan yang terjangkau oleh sumber atau atau aliran air sungai.
Tanaman yang ditanam oleh petani Tengger cukup beragam, diantaranya adalah kubis, kentang, wortel, bawang putih, tomat, lombok, prei. Daerah pemasaran mereka adalah kota-kota disekitarnya seperti Pasuruan, Probolinggo dan Surabaya.
Selain itu masyarakat Tengger juga banyak yang memanfaatkan pengunjung atau wisatawan yang sedang berkunjung ke Gunung Bromo. Misalnya dengan cara nundan, yaitu menyewakan kuda untuk transportasi menuju kaki Gunung Bromo, maupun menjual jasa lain dengan menyewakan kamar-kamar untuk penginapan dan warung-warung makan.
e.       Pemimpin Masyarakat Tengger    
Masyarakat Masyarakat Tengger tidak mengenal dualisme kepemimpinan, walaupun ada yang namanya Dukun adat. Tetapi secara  formal pemerintahan dan adat, Masyarakat Tengger dipimpin oleh seorang Kepala  Desa (Petinggi) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun diposisikan sebagai pemimpin Ritual / Upacara Adat.
Proses pemilihan seorang Petinggi, dilakukan dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat, melalui proses pemilihan petinggi. Sedang untuk pemilihan Dukun, dilakukan melalui      beberapa    tahapan-tahapan    (menyangkut    diri pribadi calon Dukun) yang pada akhirnya akan diuji melalui  ujian Mulunen (ujian pengucapan mantra yang tidak boleh terputus ataupun lupa) yang waktunya pada waktu Upacara Kasada bertempat di Poten  Gunung Bromo.
f.             Sifat dan Sikap
Masyarakat Masyarakat Tengger mempunyai sifat yang luhur, jujur dan apa adanya, sedangkan sikap masyarakat Masyarakat Tengger Ramah Tamah dan Terbuka, menjujung tinggi rasa persaudaraan dan kegotong royongan.
g.      Pemukiman
Umumnya masyarakat Masyarakat Tengger menempati lembah-lembah dan lereng perbukitan sekitar Gunung Bromo dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Setiap kelompok pemukiman ini disebut dusun atau pedusunan yang dalam istilah lain disebut pedukuhan. Dalam perkembangan sejarahnya, dari beberapa pedusunan akhirya dijadikan sebuah desa.
Perkampungan orang-orang Tengger sifatnya masih mengelompok dan menyebar. Jarak rumah antara penduduk yang satu dengan lainnya sangat rapat, sehingga dapat dikatakan hampir tidak ada batasan yang tegas antara pagar rumah antara orang yang satu dengan pagar rumah orang yang lain. Keadaan semacam ini hampir merata diseluruh daerah pedesaan yang dihuni oleh masyarakat Tengger. Menurut mereka, bentuk perkampungan yang tidak mengenal pagar yang membatasi rumah-rumah penduduk adalah pertanda atau menunjukkan sikap hidup Masyarakat Tengger yang suka kerjasama dan gotong-royong. (Sudigdho, 26 - 28)
h.       Kesenian
Seni tari Sodor merupakan kesenian tradisional Masyarakat Tengger, tarian ini merupakan tarian yang sangat sakral bagi mereka dan hanya boleh dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja.
i.        Sistem Kalender Masyarakat Tengger
Masyarakat Tengger sudah mengenal dan mempunyai sistem kalender sendiri, jumlah  usia kalender masyarakat tengger  berjumlah 30 sampai 31 hari ,tetapi  ada perbedaan penyebutan usia hari yaitu antara tanggal 1 sampai dengan 15 disebut tanggal hari,dan 15 sampai 30 / 31 disebut Panglong Hari .
Nama-nama hari Masyarakat Tengger:
1.        Dhite        : Minggu
2.        Shoma      : Senin
3.        Anggara   : Selasa
4.        Budha      : Rabu
5.        Respati     : Kamis
6.        Sukra        : Jum’at
7.        Tumpek    : Sabtu
Nama-nama bulan Masyarakat Tengger:
1.      Kartika                  : Kasa 
2.      Pusa                       : Karo 
3.      Manggastri            : Katiga          
4.      Sitra                       : Kapat           
5.      Manggakala           : Kalima          
6.      Naya                      : Kanem          
7.      Palguno                 : Kapitu          
8.      Wisaka                  : Kawolu        
9.      Jito                        : Kasanga
10.  Serawana               : Kasepoloh
11.  Pandrawana          : Destha          
12.  Asuji                      : Kasada         
Adapun tahun yang digunakan adalah Tahun Saka (Caka). (Sudigdho, 24 - 25).

B.Upacara Adat Masyarakat Tengger

Tengger dikenal sebagai tanah hila-hila (suci) sejak jaman Majapahit, para penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang keagamaan dari Sang Hyang Widi Wasa. Hingga kini Masyarakat masih mewarisi tradisi Hindu sejak jaman kejayaan Majapahit. Agama Hindu di Bali dan di Tengger pada dasarnya sama yaitu Hindu Dharma, tetapi Masyarakat Tengger tidak mengenal kasta, dan masih menganut tradisi yang pernah berkembang pada jaman Majapahit. Akan tetapi mereka kaya akan kepercayaan dan upacara adat, diantaranya :
a.       Upacara Adat Karo
Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabotanpun juga baru, makanan dan minumanpun melimpah.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian dan untuk memusnahkan angkara murka.
b.      Upacara Kapat
Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
c.       Upacara Kawolu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
d.      Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pandita (dukun). Selanjutnya pandita dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
e.       Upacara Kasada
Upacara ini diadakan pada saat purnama bulan Kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai dan pameran.
Kasada adalah upacara untuk memohon panen yang berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit, yaitu dengan cara mempersembahkan sesaji dengan melemparkannya ke Gunung Bromo.
Sekitar pukul 05.00 pandita dari masing-masing desa, serta masyarakat Tengger mendaki Gunung Bromo untuk melempar Kurban (Sesaji) ke Kawah Gunung Bromo. Setelah pandita melempar Ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.
Saat prosesi berlangsung, masyarakat Tengger lainnya beramai-ramai menuruni tebing kawah dan mengambil sesaji yang dilemparkan ke dalam kawah, sebagai perlambang berkah dari Yang Maha Kuasa. Perebutan sesaji tersebut merupakan atraksi yang menarik dan menantang sekaligus mengerikan. Sebab tidak jarang diantara mereka jatuh kedalam kawah.
Menurut cerita Upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu, pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari kasta Brahma bernama Joko Seger.
Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumah tangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar dikaruniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang. Adapun kedua puluh lima putranya tersebut antara lain :
1.            Tumenggung Klewung
2.            Serita Wiji
3.            Ki Baru Klinting
4.            Ki Rawit
5.            Jiteng Jinah
6.            Ical
7.            Prabu Siwah
8.            Cakar Pranata Aminoto
9.            Tunggul Wulung
10.        Tumenggung Klinter
11.        Raden Bagus Waris
12.        Kaki Dukun
13.        Kaki Pranata
14.        Kaki Perinti
15.        Tunggul Ametung
16.        Raden Mesigit
17.        Puspa Ki Gentona
18.        Kaki Teku Nini Teku
19.        Ki Dadung Awuk
20.        Ki Dumeling
21.        Ki Sindu Jaya
22.        Raden Sapu Jagat
23.        Ki Jenggot
24.        Dunang Diningrat
25.        Raden Kusuma
Namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan anaknya. Kemudian pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api. Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib “Hai kadang-kadangku kang dak tinggal, podo urip rukun lan langgeng, menowo reyang ayan dewa Kusuma minongko dadi wakiling kadang-kadangku kabeh madep marang kang Moho Agunglan minongko panglu arep nadare wong tuwo, arep liwat menowo wulan kasodo, reyang njaluk kirimi sarwo barang hasil tandur tuwuh iro”, atau apabila di Bahasa Indonesiakan kurang lebih sebagai berikut: Hai saudara-saudaraku yang masih hidup, hiduplah yang rukun dan abadi, biarkanlah saya yang bernama Dewa Kusuma sebagai wakil-wakil saudara semua menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai janji yang telah diucapakan oleh kedua orang tua kita, dan jangan lupakan jika bulan Kasada kirimlah dengan hasil tanam-tanaman kalian.
Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
f.             Upacara Unan-unan
Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan.
g.       Upacara Mbobot (kelahiran)       
a)      Upacara  Neloni ( usia kandungan  3  bulan )
b)      Upacara  Sayut  ( usia kandungan  7 bulan )
c)      Upacara Among -Among (usia lahir 40 hari).
      (Sudigdho, 21 - 24).

Masyarakat Tengger dan Gunung Bromo

img from http://www.potlot-adventure.com/wp-content/uploads/2009/04/peta-bromo-tengger-semeru.jpg 

Gunung Bromo merupakan salah satu gunung dari lima gunung yang terdapat di komplek Pegunungan Tengger di laut pasir (Gunung Batok, Gunung Widodaren, Gunung Kursi, gunung Watangan). Daya tarik gunung ini adalah merupakan gunung yang masih aktif dan dapat dengan mudah didaki/dikunjungi. Obyek wisata Gunung Bromo ini merupakan fenomena dan atraksi alami yang merupakan salah satu daya tarik pengunjung. Kekhasan gejala alam yang tidak ditemukan di tempat lain adalah adanya kawah di tengah kawah (creater in the creater) dengan hamparan laut pasir yang mengelilinginya.
Daya tarik lainnya, adalah bahwa gunung ini merupakan tempat bagi berlangsungnya acara puncak upacara ritual masyarakat Tengger Kasodo yakni berupa pelemparan hasil bumi sebagai persembahan ke kawah Gunung Bromo. Upacara inilah yang menarik wisatawan untuk menyaksikan acara yang hanya berlangsung satu tahun sekali.
Nama Bromo adalah nama untuk Dewa Brama atau Brahma. Dewa Brahma dalam agama Hindu diakui sebagai Dewa Api. Sebagai gunung berapi, Gunung Bromo dianggap sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brama. (Hefner & Hefner, 1985 : 1)
Nama-nama asli untuk daerah disekitar Gunung Bromo juga memiliki arti spiritual. Misalnya, wilayah di bawah dari kawah Gunung Bromo biasanya disebut segara wedi atau laut pasir. Dalam naskah Tantri Kamandaka (sabuah naskah Hindu dari zaman Majapahit), laut pasir itu digambarkan sebagai jalan lintasan untuk arwah manusia dalam perjalanan penyucian yang harus dialami sebelum arwah itu naik ke khayangan. (Hefner & Hefner, 1985 : 2)
Hubungan spiritual antara Gunung Bromo dan Dewa Brahma juga kelihatan dari tradisi sehari-hari Masyarakat Tengger sampai sekarang ini. Ada beberapa hal yang menyolok. Misalnya, dalam bahasa Jawa Tengger, berjalan ke arah Gunung Bromo disebut ngidul atau pergi ke selatan, walaupun Gunung Bromo itu mungkin tidak sebetulnya terletak di arah selatan desa itu. Contoh lain: waktu seseorang meninggal dunia, dia dimakamkan ke arah selatan. Demikin juga, sebagian dari pandita Tengger menghadap ke arah selatan waktu melaksanakan upacara agama.  (Hefner & Hefner, 1985 : 3)
a.       Lokasi
Gunung Bromo terletak di Kabupaten Pasuruan, mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut. Bentuk tubuh gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.
Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). (Menhut No. 278/Kpts-VI/1997).
b.      Iklim
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson, iklim di kawasan Gunung Bromo termasuk iklim tipe B dengan nilai Q sebesar 14,36% dan curah hujan rata-rata 6604,4 mm/tahun. Kelembaban udara di sekitar laut pasir cukup tinggi yaitu maksimal mencapai 90 - 97% dan minimal 42 - 45% dengan tekanan udara 1007 - 1015,7 mm Hg. Suhu udara rata-rata berkisar antara 5°C - 22°C. Suhu terendah terjadi pada saat dini hari di puncak musim kemarau antara 3°C - 5°C bahkan di beberapa tempat sering bersuhu di bawah O°C (minus). Sedangkan suhu maksimum berkisar antara 20°C - 22°C. (Menhut No. 278/Kpts-VI/1997).
c.       Flora dan Fauna
a)      Flora
Flora yang banyak dijumpai di kawasan Bromo adalah mentigi (Vaccinium varingaefolium), dan cemara gunung (Casuarina junghuniana). Selain itu terdapat jenis-jenis lainnya diantaranya pakis uling (Cyathea tenggeriensis), putihan (Buddjleja asiatica), dan senduro (Anaphalis sp.). Juga terdapat 89 jenis tanaman hias diantaranya, Eddellwiess (Anapholis longifolia), polosari (Alyxia reinwarditii). Terdapat pula 122 jenis tanaman obat diantaranya, adas (funnicullum vulgare), semprit (Belamcanda chinensis), (Menhut No. 278/Kpts-VI/1997).
b)      Fauna
Sedikit jenis mamalia yang terdapat di sekitar kawasan Gunung Bromo diantaranya, Babi hutan (Sus Scrafa), Rusa Timur (Cervus Timorensis), Serigala dan bajing terbang, macan tutul, trenggiling (mani para manis javanicus) serta berbagai jenis spesies burung. (Menhut No. 278/Kpts-VI/1997).
Kawasan Gunung Bromo selama ini telah dikenal masyarakat luas sebagai obyek wisata alam di Jawa Timur karena keindahan kawah, lautan pasir dan matahari terbitnya. Masyarakat tengger memiliki banyak keunikan baik dari ssegi bagasa seni serta budayanya. Beberapa budaya yang terdapat di tengger antara lain Upacara Adat Karo, Upacara Kapat, Upacara Kawolu, Upacara Kasanga, Upacara Kasada, Upacara Unan-Unan, dan Upacara Mbabot (kelahiran).
Dari beberapa upacara yang paling menyita perhatian ialah Upacara Kasada. Namun demikian upacara ini lebih populer dibandingkan dengan masyarakat Tengger itu sendiri. Hal ini sangat disayangkan, karena kehidupan masyarakat Tengger juga menarik untuk diketahui. Dimana sebuah kehidupan masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang hingga sekarang dan dimana adat istiadat tersebut mengikat mereka dalam kehidupan sehari-hari sudah jarang dijumpai.
Masyarakat Tengger sebagai khasanah kebudayaan lokal membutuhkan perhatian baik dari masyarakat sekitar maupun  pemerintah sehingga budaya yang terdapat didalamnya dapat dipertahankan bahkan dilestarikan karena masyarakat tengger sendiri salah satu daya tarik di sektor pariwisata.  Bahkan peran serta pemerintah agar ditingkat lagi dan tidak hanya terfokus pada aktivitas pariwisata budaya yang menarik masa namun juga untuk pelestarian budaya Tengger yang terwujud dalam tradisi-tradisinya.
Sources: dari berbagai sumber
Tulisan dari saudara kosim,dkk (P.Sejarah UNEJ '08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini kurang lengkap, lengkapilah. Jika salah, benarkanlah. Setitik komentar anda, adalah cermin bagi penulis untuk berusaha lebih baik