Minggu, 25 Maret 2012

TEORI KONTRAK SOSIAL




Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Idea atau gagasan tentang kontrak sosial (social contract) telah dikemukakan oleh Plato, seorang filsuf Yunani (Greek) lebih 2500 tahun yang lalu dalam tulisannya Republic. Ramai selanjutnya para pemikir besar bidang politik dan hukum yang terkemudian, menerangkan dan mengembangkan lebih lanjut konsep kontrak sosial ini, diantaranya adalah Hugo Grotius, Imanuel Kant, John Locke, Jean Jaques Rousseau dan Thomas Hobbes.
Ahli-ahli filsafat itu umumnya cenderung bersetuju tentang perlunya kontrak sosial atau ikatan perjanjian antara eksekutif pemegang otoritas (pemimpin, wakil) dengan rakyat (konstituen, para pemilih). Ide dasar kontrak sosial itu dibangun berdasarkan tesis atau premis utama bahwa kekuasaan utama berdirinya suatu negara terletak pada rakyat banyak (popular sovreignity) dan mandat rakyat tersebut dapat ditinjau ulang, dibatalkan atau akan ada tindakan tertentu bila salah satu pihak melakukan ‘pelanggaran kesepakatan’.

Hobbes (1588-1679)
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Mengenai semua hal di atas, Hobbes menulis sebagai berikut:
“So that in the first place, I put for a generall inclination of all mankind, a perpetuall and restlesse desire of Power after power, that ceaseth in Death. And the cause of this, is not intensive delight, than he has already attained to; or that he cannot with a moderate power: but because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition of more.” [Thomas Hobbes, Leviathan, Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd., 1651, cetak ulang tahun 1983, h. 161.]
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.

Locke (1632-1704)
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil Government,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.

Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Perspektif filsafat Jean Jacques Rousseau (1712-1778)  berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis. Manusia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat pergumulannya di tengah masyarakat yang egoistis. Karena rebutan sebidang tanah, misalnya, manusia dengan mudah menumpahkan darah, saling berperang, dan membunuh satu sama lain.  Agar kepemilikan manusia terjamin kepastiannya, dibatasi untuk tidak menjadi tak terbatas, bisa menghargai hak-hak satu sama lain, dan bisa hidup berdampingan secara damai, maka Rousseau  menggagas perlunya kontrak sosial yang menjadi aturan main bersama agar tidak ada pihak yang dirugikan. Sayangnya, kontrak itu tidak begitu jelas, apakah hanya semacam niat baik atau kontrak yang harus tertulis. ‘hitam di atas putih’, berisi hak dan kewajiban serta konsekuensinya secara rinci atau tidak?
JJ Rousseau ketika berbicara tentang kontrak sosial (social contract), tampak mengkaitkan kondisi perlunya keikutsertaaan rakyat untuk ikut menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri dengan para calon pemimpin dan wakilnya yang akan duduk diberbagai posisi politik. Adanya Kontrak sosial, secara kontekstual, telah melahirkan sentimen moral publik, untuk boleh menentang setiap bentuk monopoli kebenaran dan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat atas nama kekuasaan. “…Raja Adil Raja Disembah; Raja Zalim, Raja Disanggah…”. Kesadaran tentang otoritas warga negara tersebut, dengan sendirinya melahirkan keniscayan dan telah memicu spirit kekritisan rakyat pemilih, terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan politik. Dalam prakteknya, telah melahirkan revolusi sosial/revolusi politik di Perancis (1789), dengan ciri ditegakkannya keadaaan umum atas dasar  hubungan ‘kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan’.
Filsafat politik  Roousseau, menurut  Sabine, cenderung mengagungkan soal perasaan moral dibandingkan cuma soal akal atau rasio. Roousseau beranggapan bahwa kebajikan-kebajikan moral, ada terdapat pada rakyat biasa, dalam bentuk yang murni yang ber-praxis diantara mereka, antara harapan dan kenyataan. Rakyat biasalah yang merupakan umat manusia, sumber kekuasaan dan legitimasi para wakil dan pemimpin.  Apa yang tidak bersifat kerakyatan, kepentingan elit tertentu, sebaiknya tidak perlu diperhitungkan dan bila perlu layak dipertanyakan kepatutannya. Semua manusia adalah sama dalam semua barisan dan lapisan. Barisan atau lapisan terbesarlah yang cukup patut untuk mendapat kehormatan tertinggi untuk diperhatikan, mendahului yang tersedikit.
Gagasan ini memang sudah mendapat kritik dan koreksi dari banyak pihak. Soal dampak buruk tyrani mayoritas, misalnya, dikoreksi dengan penegakan hukum dan demokrasi prosedural. Memang, faktanya belum tentu pihak yang terbanyak, itu yang terbaik dan terbenar jalannya. Walaupun begitu ada yang setuju bahwa suara rakyat terbanyak adalah suara Tuhan, yang telah mengalami proses uji coba dan perbaikan diantara orang banyak itu sendiri.
Filsafat sosial yang dikembangkan Roousseau antara lain adalah individualisme sistematis, yang diadopsi dari pemikiran John Locke yaitu adanya nilai bahwa setiap kelompok sosial terdiri atas upaya pencapaian kebahagian atau kepuasan diri  dan adanya perlindungan otoritas untuk mempunyai dan menikmati hak milik setiap warga negara. Pada hakekatnya manusia tergerak untuk bekerja sama disebabkan kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing, yang perlu dihimpun sebagai kehendak umum bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini kurang lengkap, lengkapilah. Jika salah, benarkanlah. Setitik komentar anda, adalah cermin bagi penulis untuk berusaha lebih baik