Minggu, 25 Maret 2012

Seblang dan Tari Gandrung

            “Gandrung” apa yang terlintas dibenak anda saat mendengar kata itu? Cinta, tergila-gila, atau apalah namanya…. Yang jelas di kota tempat saya dibesarkan kata tersebut sangat familiar, terutama dikalangan etnis osing. Secara administratif orang Osing bertempat  tinggal di Kabupaten Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Beberapa abad yang lalu, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Banyuwangi ini merupakan wilayah utama Kerajaan Blambangan. Wilayah pemukiman orang Osing makin lama makin mengecil, dan jumlah desa yang bersikukuh mempertahankan adat-istiadat Osing juga  makin berkurang. Dari 21  kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, tercatat tinggal 9  kecamatan saja yang diduga masih menjadi kantong kebudayaan Osing. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng (Sari, 1994:23).
Identitas budaya suatu masyarakat tertentu selalu menghadirkan pandangan stereotipe. Begitu pula halnya dengan identitas budaya Osing. Orang Osing diprasangkai sebagai sosok yang kasar (tidak punya tata krama), longgar dalam nilai, terutama yang terkait dengan hubungan antarlawan jenis, dan memiliki ilmu gaib destruktif yang disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya (Subaharianto, 1996:3).
Di samping citra negatif tersebut, orang Osing juga dikenal memiliki citra positif yang membuatnya dikenal luas dan dianggap sebagai aset budaya yang produktif yaitu 1) ahli dalam bercocok tanam; 2) memiliki tradisi kesenian yang handal; 3) sangat egaliter, dan 4) terbuka terhadap perubahan (Sutarto, 2003).
Tidak berbeda dengan daerah lain di Jawa, Banyuwangi juga kaya dengan warisan budaya leluhur yang masih tetap terpelihara dengan baik. Bersih desa yang selalu diadakan setiap tahun sekali pada seluruh pedesaaan dan kelurahan di Banyuwangi cukup kuat disebut sebagai contoh untuk hal ini. Pada tradisi selamatan desa itu, masing-masing wilayah memiliki cara yang khas dalam tata cara pelaksanaannya. Desa Grogol Kecamatan Giri misalnya, menyelenggarakan selametan desa dengan tontonan tradisional yang didahului dengan do'a bersama di atas makam leluhur yang dilanjutkan dengan ider bumi (keliling kampung) di malam harinya. Desa Boyolangu di Kecamatan  ang sama melakukan do'a dan makan bersama di dekat jalan menuju makam umum. Demikian juga malamnya, setelah maghrib warga berkeliling kampung dengan mengumandangkan adzan di setiap persimpangan jalan. Tata cara yang serupa juga terjadi di wilayah kecamatan Giri yang lain seperti Penataban, Jambesari dan Kelurahan Giri.
Sedikit berbeda dalam menghormati leluhur yang telah berjasa membuka lahan untuk pertanian dan permukiman adalah Desa Alasmalang, Bakungan, Kemiren dan Olehsari. Di Alasmalang, selamatan desa dilakukan dengan mengadakan atraksi Kebo-keboan. Yaitu beberapa orang dirias seperti kerbau untuk kemudian diarak mengellilingi desa dengan membawa uba rampe dari hasil pertanian. Arak-arakan juga dilakukan warga masyarakat Kemiren dalam tradisi selamatan desa, hanya saja di sini mereka berjalan mengelilingi desa mengiringi Barong. Adapun di Bakungan dan Olehsari, selamatan itu dilakukan dengan menggelar atraksi Seblang. Seluruh ritual budaya ini selain sebagai wujud ekpresi keberagamaan juga menandakan dekatnya masyarakat dengan alam kehidupannya.

Ritual  Seblang


            Masyarakat Osing sebagai pewaris dari kebudayaan bumi Blambangan pada dasarnya memiliki banyak hasil kebudayaan yang menarik untuk dikaji, salah satunya ritual tari Seblang dan tari Gandrung yang merupakan ikon kota paling ujung pulau jawa ini. Ritual tari Seblang sendiri sampai sekarang masih dilestarikan oleh etnis pemiliknya, sebelumnya tradisi ini dilaksanakan oleh hampir seluruh warga etnis Osing di tanah Blambangan namun seiring berkembangnya tradisi-tradisi modern tradisi ini hingga saat ini hanya dua desa saja yang masih melaksanakan upacara ini.
Konsep Ritual Seblang
            Ritual tari Seblang adalah upacara ritual bersih desa atau selamatan desa yang diselenggarakan setahun sekali dan kemungkinan dianggap sebagai pertunjukan yang paling tua di Banyuwangi (Scholte, J., 1927: 149-50; Wol- bers, P.A. 1992:89; 1993:36).
Ritual Seblang sebagai ekspresi simbolik masyarakat petani pedesaan, khususnya masyarakat Olehsari dan Bakungan. Ritual ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap roh leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat setempat maupun para dhanyang, yaitu sejenis roh yang menguasai dan menjaga desa yang diyakini hidup berdampingan.
Upacara Seblang diselenggarakan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas panen yang berhasil, kesuburan tanah, keselamatan warga desa, penyembuhan penyakit, penghormatan leluhur, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman desa. Ritual Seblang tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk praktek sosial, semacam wadah untuk mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan untuk memperkecil ketidakpastian, ketegangan, dan konflik  (Geertz, 1989:13).).
Pertunjukan tari Seblang merupakan acara inti selama upacara berlangsung. Tari Seblang yang berasal dari ritual pra-Hindu adalah tarian kejiman atau tarian trance yang ditarikan oleh seorang gadis atau seorang wanita dewasa dalam keadaan tidak sadarkan diri karena kemasukan roh leluhur. Pertunjukan tari dengan penari yang tidak sadarkan diri ini mirip dengan tari Sanghyang di Bali, Sintren di Jawa Barat, tari Bissu di Sulawesi Selatan, maupun pertunjukan Nini Thowog. Gerakan tari Seblang merupakan pantulan kekuatan bawah sadar yang lahir dari rasa ketakutan dan hormat yang tinggi terhadap kekuatan dan kekuasaan di luar diri manusia, di samping sugesti yang magis, pantulan asap dupa, mantra, dan nyanyian mistis berbaur menjadi dasar ungkapan ritme yang merupakan unsur utama tari (Murgiyanto dan Munardi, 1990:17).
Pelaksanaan ritual
 Ritual tari Seblang masih dilaksanakan di dua desa dikecamatan Glagah yaitu di desa Bakungan dan Olehsari. tari Seblang di dua desa tersebut berbeda waktu pelaksanaannya, di desa Olehsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha. Dalam makalah ini yang menjadi sasaran adalah ritual Seblang didesa Olehsari.
Proses upacara Seblang di Olehsari mempunyai ciri khas dan ketentuan tersendiri. Ciri khas pertama yaitu waktu pelaksanaan ada ketentuannya dan terpilih. Hari pelaksanaan upacara selalu ditentukan pada hari Senin atau Jum’at di awal bulan Syawal. Pelaksanaannya antara jam 14.00 sampai kira-kira jam 16.30. Menurut informasi, dulu acara ini dilaksanakan pada awal tahun Hijriyah (Suro-Jawa), kemudian atas petunjuk bisikan leluhur dirubah pada bulan Syawal (Sutarto, 2006 ; 3). Upacara ritual ini dilaksanakan sepekan berturut-turut dan setelah upacara selesai dalam satu pekan, tepatnya pada hari kedelapan, para pendukung yang dalam hal ini pesinden, penari dan ibunya harus melakukan siraman dengan maksud mengembalikan para roh yang menempel di jasad ke alam asalnya. Kemudian setelah semuanya usai, baru mereka bersama tetangga sekitar lokasi siraman melakukan selametan dengan do’a bersama dengan cara-cara islami.
Ketentuan yang kedua mengenai lokasi upacara. Lokasi penyelenggaraan upacara Seblang harus diadakan di desa Olehsari, tidak boleh dan tidak bisa dilaksanakan di luar.Dalam hal ini masyarakat setempat selalu teringat peristiwa 80-an yang mementaskan Seblang di kota Banyuwangi. Akibatnya, sang penari tak mau sadarkan diri hingga pagi hari. Berhubungan dengan masalah lokasi, tempat ritual harus menghadap ke timur dan harus ada bangunan kecil yang disebut tarub. Selain itu ada tempat duduk khusus bagi penari dan pesinden yang berada sedikit di belakang payung besar yang disebut payung agung. Pada acara ini, tepatnya di hari terakhir penari bersama seluruh pendukung acara harus berputar mengelilingi desa sambil menari kemudian berhenti di balai desa, berjalan dan berhenti lagi di makam Mbah Bisu, dilanjutkan menari sambil terus berjalan sampai ke lokasi awal pemberangkatan (Misadi, 15 September 2010).
Ketentuan ketiga berkaitan dengan pelaku upacara, lebih khusus penari. Dalam ritual Seblang ini, para pelaku harus dipilih dan ditentukan menurut adat yang berlaku. Pemimpin upacara dipilihkan orang yang dianggap mampu memimpin  jalannya  upacara. Saleh (Mbah Saleh) adalah dukun ”khusus” di desa Olehsari yang dipercaya oleh masyarakat menjadi pimpinan, yaitu untuk ngutugi dan ngundang roh alus. Dalam pertunjukkan tari, Saleh selulu membawa prapen (tempat untuk membakar  kemenyan atau anglo) dan mengunyah kemenyan, kemudian ia mengasapi penari sebagai santapan dan minumannya, caos dhahar katanya.
Selain sebagai pengutug Saleh juga sebagai pengundang. Maksudnya, ia selain bertanggungjawab dalam upacara juga bertanggung jawab pada masalah-masalah yang berkaitan dengan roh halus terutama ketika pertunjukan tari akan dimulai dan diakhiri. Sebelum penari melakukan gerak tari terlebih dahulu dilakukan acara ngundang roh halus supaya merasuk ke sukma penari Seblang. Saat ngutugi untuk mengundang roh ini ada mantra yang dibaca sebagai berikut :
Kang ana ring pecemengan sembulungan
Kang ana ring Bali Anggenan
Kang ana ring Watudodol
Kang ana ring Antogan ring weringin
Mbah Jalil, Buyut Ketut, para Alus
Kang petang pucuk papat tekoho merene, Mbah Jalil Gandrungan
Aji Anggring, Buyut Saridin, kang ana ring Kawah Ijen sang pengutug
Mereneyo dianteni ring pendopo agung (Saleh, 14 September 2010).
Penari yang dipilih harus mempunyai garis keturunan dari seorang penari Seblang. Garis keturunan itu bisa dari ibu atau bapak yang penting memiliki darah dari para sesepuh ritual ini. Adapun kesucian, yang berarti belum pernah menstruasi, atau belum pernah bersuami, pada masa sekarang ini bukan menjadi masalah. Terbukti beberapa kali penari Seblang justru terpilih dari seorang janda yang masih muda. Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari Seblang sebelumnya. Di desa Olehsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan, penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid (menopause).
Pelaku yang lain seperti pembuat omprok, perias, penabuh, dan pendamping penari adalah orang-orang khusus yang dipilih dengan dasar adat masyarakat Olehsari. Orang-orang tersebut, selain mempunyai skill di bidangnya masing- masing juga masih ada jalinan keluarga dengan para sesepuh yang merupakan pelaku upacara Seblang terdahulu. Ketentuan lain, mereka harus berdomisili di desa Olehsari.
Tata cara dan ketentuan lain yang juga merupakan ciri khas sebuah upacara ritual adalah sajen (sesaji) yang merupakan syarat pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Untuk menyediakan sajen ini, sehari sebelum pelaksanaan upacara sudah harus dipersiapkan lebih dulu mengingat banyaknya sajen dan banyaknya macam uba rampe yang harus disajikan.
Sesaji yang dibuat merupakan memiliki banyak jenis seperti sajen buangan, yang artinya sesaji tersebut dibuang atau dihantarkan ke tempat-tempat keramat seperti di sumber mata air dan pemakaman. Sesaji buangan ini diteliti dan dimantra-mantrai oleh sang dukun sebelum upacara berlangsung. Sajen ini terdiri dari : kembang telon, yang terdiri dari bunga kanthil, kenanga dan mawar. Sajen ini juga berupa kepala ayam, brutu ayam, jeroan, sayap dan kaki ayam. Di samping itu, sajen-sajen tersebut disertai pula ragi kuning dan air dalam cangkir atau gelas kecil. Sajen kedua berupa buah-buahan (rujakan) dan kinangan. Jenisnya berupa jambu, kedondong, nanas, mentimun, belimbing, jeruk, pisang mas, rambutan, manggis, buah sirsat dan air dalam kendi, sedangkan kinangan berupa wadah kinangan dan perabotnya.
Sajen ini ditempatkan pada tempat yang telah ditentukan.yaitu di bawah atap atau di atas tempat duduk pesinden. Sajen ketiga disebut sajen peras yang terdiri dari: satu buah kelapa yang telah dikupas kulitnya, dua tangkep pisang raja, satu tangkep gula jawa, dan ragi kuning. Sajen ini penempatannya di bawah payung agung atau dibawah gong. Sajen peras, sajen rujakan, dan sajen kuningan semuanya disebut sajen cawisan Selain dari sajen-sajen tersebut di atas, masih ada sajen yang harus disajikan di tarub.
Sajen tersebut berupa buah-buahan, biji-bijian, sayur-sayuran, obat-obatan tradisional (empon-empon), dan bunga-bungaan. Semua itu digantung di atas pesinden atau tergantung pada atap tarub. Sesaji ini biasa disebut dengan para bungkil. Sajen-sajen itu semua nantinya diperebutkan oleh penonton maupun para pelaku setelah acara selesai. Hal ini dimaksudkan sebagai ngalap berkah atau ngelorot dari benda-benda yang dipakai dalam upacara.
Musik pengiring Seblang hanya terdiri dari satu buah kendang, satu buah kempul atau gong dan dua buah saron. Sedangkan di Olehsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal. Dari segi busana, penari Seblang di Olehsari dan Bakungan mempunyai sedikit perbedaan, khususnya pada bagian omprok atau mahkota.
Tari Seblang ini dimulai dengan upacara yang dibuka oleh sang dukun desa atau pawang. Sang penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang berada dibelakangnya, sambil memegang tempeh (nampan bambu). Sang dukun mengasapi sang penari dengan asap dupa sambil membaca mantera. Setelah sang penari kesurupan (tak sadarkan diri atau kejiman dalam istilah lokal), dengan tanda jatuhnya tempeh tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Si Seblang yang sudah kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan mengikuti arah sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan. Kadang juga berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari, kemudian si Seblang melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton yang terkena selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka dia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari. Dan dipercaya mereka yang menolak akan memperoleh musibah atau kasengsaran.

Fungsi Ritual

Ritual Seblang memiliki banyak fungsi bagi masyarakat penganutnya, yaitu antara lain:
Sebagai sarana bersih desa
            Upacara Seblang memiliki fungsi sebagai sarana bersih desa atau slametan dalam istilah jawa. Seperti halnya bersih desa di tempat lain di jawa bersih desa melalu ritual Seblang ini ditujukan agar kehidupan satu tahun kedepan desa Olehsari selalu dilimpahkan kebahagiaan, dan ketentraman serta keamanan desa. Selain itu dipercaya ritual ini sebagai sarana tolak balak.
Sebagai pengundang kesuburan
            Ritual Seblang juga difungsikan sebagai sarana untuk mengundang kesuburan, hal ini dikarenakan mayoritas penduduk desa adalah masyarakat agraris dan dalam kosmologi jawa dipercaya adanya dewi kessuburan (Dewi Sri di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan Nini Towog di Jawa Barat) melalui ritual Seblang ini diharapkan pada masa panen akan mendapatkan hasil yang melimpah
Sarana Pengobatan Penyakit
            Bukan rahasia umum bahwa ritual-ritual di daerah jawa yang segender dengan ritual Seblang, sesajian yang diperebutkan dipercaya dapat memberikan kebahagian, dan kesehatan dan bahkan lebih dari itu ada keyakinan dapat digunakan untuk mempermudah jodoh. Sehingga Seblang juga difungsikan sebagao sarana pengobatan masyarakat pendukungnya
Penghormatan Leluhur
            Alasan utama Seblang masih dapat menjaga eksistensinya adalah rasa hormat penduduk akan leluhur mereka, mereka percaya dengan memanjatkan do’a-do’a bagi leluhur akan mempermudah mewujudkan cita-cita desa atas kehendak Tuhan YME.
Hiburan Roh Halus
Fungsi yang terakhir adalah sebagai hiburan, karena eksotisme ritual Seblang baik secara langsung atau tidak telah menarik wisatawan domestic dan bahkan asing untuk turut menyaksikannya. Hal ini dikarenakan meskipun penuh dengan aroma mistis, dan sendu (lewat tembang yang dilantunkan) ritual Seblang dapat menghibur dengan tingkah polah penari yang sedang kesurupan.

Makna Social Kultural Ritual Seblang

Tari Seblang masih dilestarikan hingga saat ini berkaitan dengan makna social-cultural yang terssimpan dibalik pelaksanaan ritual ini. Meskipun sebagian besar masyarakat penganutnya telah beragama islam namun mereka beranggapan bahwa mereka harus melestarikannya sebagai warisan budaya. Toh, dunia ini berisi mahluk yang Nampak dan tak Nampak. Mereka beranggapan agar kehidupan ini selaras mereka harus dapat berdampingan antara yang Nampak dan tak Nampak. Secara filosofis ritual Seblang dipercaya dapat menyelaraskan kehidupan antar sesame manusia, alam, mahluk ghoib yang mendiami desanya.
Sebagai siklus yang dianggap sakral, upacara Seblang sarat dengan simbol-simbol yan\g mengelilinginya. Hal ini terlihat dari ciri-ciri khas dalam pelaksanaannya, seperti: (1) waktu upacara harus merupakan waktu terpilih; (2) tempat penyelenggaraan upacara harus tempat terpilh; (3) orang yang diupacarakan harus dalam keadaan bersih secara spiritual; (4) upacara harus dipimpin oleh orang terpilih; dan (5) sesaji merupakan pe- lengkap upacara yang tidak boleh ditinggalkan (Soedarsono, 1990:4). Se- lain itu, simbol-simbol dapat terlihat dari setiap tahapan yang harus dilalui pelaku Seblang selama upacara berlangsung. Simbol bagi Ricoeur diru- muskan sebagai sejenis struktur yang signifikan yang mengacu pada se- suatu secara langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditam- bahkan lagi dengan makna yang lain, yakni makna yang mendalam (secondary meaning) dan figuratif. Hal ini dapat terjadi apabila menembus makna yang yang pertama (1988:12).

Tari Gandrung

Sejarah Tari Gandrung
Menurut catatan sejarah, Gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian Gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, Gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari Gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
            Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah Gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya Gandrung oleh wanita.
Tradisi Gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari Gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan Gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Sebenarnya kesenian Gandrung merupakan suatu wujud tarian terima kasih para masyarakat desa kepada dewi padi atau dewi Sri karena telah melimpahkan hasil panen yang melimpah.
Seorang penari Gandrung yang tergabung dalam kelompok kesenian Gandrung banyak hidup sendiri dan kurang disukai oleh masyarakat. Citra buruk Gandrung di era 70 – 90an masih sangat erat melekat dalam diri Gandrung. Dijadikannya Gandrung sebagai prostisusi terselubung oleh sekelompok orang semakin menyudutkan posisi Gandrung. Selain itu juga banyak penari Gandrung yang menjadi simpanan pejabat dari pejabat tingkat desa sampai kabupaten.. Noda itulah yang mencemari citra Gandrung, padahal tidak semua penari Gandrung berbuat buruk (Dedy Luthan, 1990 : 19)
Menurut Wiwik Sumartin dan Sudarti yang merupakan Gandrung senior di Banyuwangi, kesakralan kesenian Gandrung dari tahun ketahun semakin memudar. Tari Gandrung yang diyakini mempunyai pertalian erat dengan tari Seblang Bakungan  menjadi tarian biasa yang tidak memerlukan ritual tertentu. Padahal pada jaman dahulu sampai tahun 2000-an seorang penari Gandrung apabila mau melakukan suatu pertunjukan maka terlebih dahulu melakukan ritual-ritual khusus seperti, Puasa putih 1 – 3 hari. Nyekar di makam almarhum Semi sebagai pemrakarsa Gandrung perempuan pertama. Melakukan ritual ringan yang lain seperti berdoa bersama dan luluran menggunakan syarat-syarat tertentu.
Proses pertentangan budaya Gandrung dengan budaya islam terjadi dalam berbagai kesempatan. Dalam tahun 1996 sempat terjadi kontak sosial masyarakat yang menolak pembangunan patung Gandrung di depan pelabuhan ketapang Banyuwangi tepatnya di sebrang jalan masjid ketapang (Novi Anoegrajekti, 2007 :72). Hal ini membuktikan bahwa agama dan budaya islam sangat bertentangan dengan budaya dan kesenian Gandrung. Namun perbedaan pandangan tersebut dapat terselesaikan dengan proses penyelarasan pendapat tentang kesenian Gandrung. Hal ini demi kemajuan kesenian daerah yang berdampak juga bagi kemajuan suatu daerah.
Tahun 1997-2002 merupakan masa transisi kesenian Gandrung, dimana kesenian Gandrung mencoba mengubah image masyarakat tentang cerita buruk kesenian Gandrung tempo dulu. Di masa ini kesenian Gandrung Banyuwangi sangat jarang muncul dipublik. Kalaupun ada itupun berada diluar wilayah Banyuwangi. Namun segi budaya, Gandrung memberikan banyak masukan bagi kabupaten Banyuwangi. Sebagai kesenian daerah Banyuwangi, Gandrung banyak memperkenalkan budaya Banyuwangi lewat berbagai penampilannya di berbagai daerah.
Pada periode 2002 – 2006, diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap penari Gandrung menjadi terkikis dan menghilang. Hal ini disebabkan selain adanya pengakuan terhadap kesenian Gandrung, juga merupakan dampak dari pergeseran Gandrung dari kesenian rakyat menjadi kesenian elit daerah Banyuwangi. Penari Gandrung sendiri mengalami perkembangan dimana sebelum tahun 1996 penari Gandrung adalah seniman Gandrung yang benar-benar penari Gandrung sejak kecil, pada periode 1997 – 2002 penari Gandrung banyak didominasi pelajar sekolah menengah atas atau kelompok remaja putri, sedangkan pada periode tahun 2002 – 2006 penari Gandrung adalah remaja putri yang banyak yang berpendidikan tinggi seperti dari perguruan tinggi dan anak-anak kecil dari sekolah dasar. Kalaupun ada penari Gandrung lainnya adalah penari Gandrung hasil dari pendidikan Gandrung dalam acara meras Gandrung yang diadakan tiap tahun.
Pada pemerintahan Ratna Ani Lestari berlangsung proses multikultural yang menekankan pada identitas lokal Osing yang berdampingan dengan budaya local daerah lain. Hal tersebut tampak dalam parade kesenian dalam peringatan ulang tahun Banyuwangi, dimana Gandrung tampil bersama dengan berbagai macam adat dan budaya daerah lain seperti Bali, Madura dan Surabaya serta Ponorogo.  Multikultural mempunyai dampak positif bagi perkembangan Gandrung karena Gandrung dapat belajar dari kesenian daerah lain dalam hal proses pengembangan dan pemasyarakatan Gandrung ( Novi Anoegrajekti, 2007 : 38)

Makna Filosofis Tari Gadrung

            Secara filosofis tari Gandrung memiliki arti yang semi-sakral karena pada awal kemunculannya seorang penari Gandrung harus melakukan ritual-ritual khusus yang harus dilaksanakan seperti puasa mtih 3 hari, berziarah ke makam Mbah semi dan ritual lain. Pada dasarnya tari Gandrung merupakan perwujudan kecintaan masyarakat Blambangan pada dewi padi atau dewi Sri. Berbeda dengan tari Seblang yang dibawakan oleh gadis dibawah umur atau perempuan yang telah menopause, sebagai tari pergaulan tari Gandrung dibawakan oleh gadis belia atau janda. Ada aspek penting dalam tradisi Gandrung, gadis ataupun janda yang menjadi penari Gandrung harus meninggalkan profesinya jika telah menikah. Hal ini dikarenakan makna filosofis kata Gandrung harus benar-benar terwujud sehingga penari tersebut benar-benar menemukan cintanya dan dapat terwujud perkawinan yang harmonis, namun tidak sedikit juga penari Gandrung yang memilih menjadi perawan tua untuk menjaga eksistensinya sebagai penari Gandrung.
            Terdapat sumber lain pula yang mengisahkan bahwa tari Gandrung yang berdasarkan kata Gandrung merupakan perwujudan kekecewaan rakyat Blambangan atas keserakahan kerajaan-kerajaan  di nusantara. Bumi Blambangan (mencakup Lumajang, Jember, Bondowoso, situbondo dan pusatnya di Banyuwangi) yang digambarkan sebagai sosok wanita cantik yang selalu diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan di nusantara. Hal ini dapat dilihat dari sejarah negari Blambangan dimana setelah lepas dari majapahit, tidak serta merta merdeka karena ancaman-demi ancaman manghantui negari blambagan. Tercatat kerajaan Demak, Mataram, dan kerajaan-kerajaan di Bali berusaha menaklukan bumi Blambangan.
Dalam sebuah buku yang diterbitkan DKB 2003 disebut bahwa: “Kesenian Gandrung tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat (Osing). Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Osing.” (hal. 62). Dan gambar perlawanan itu hanya tampak dalam sebuah pertunjukan yang menyajikan babak-babak secara sempurna (jejer, paju, dan Seblang-Seblang), lagu-lagu “asli” Gandrung atau lagu-lagu Osing, tari ukir-kawin atau prapatan, musik bukan Jawa dan bukan pula Bali, dan bersih dari minuman keras.
Komunitas Osing, begitu hasil-hasil penelitian menyebutkan, mempunyai sejarah panjang di mana mereka berada dalam tekanan struktural politik dan kultural yang menyudutkan. Majapahit, Demak, Mataram, Buleleng, dan VOC adalah pusat-pusat kekuasaan politik yang menginvasi dan memperebutkan Banyuwangi dengan implikasi serius bagi penduduknya. Perlawanan keras Menakjinggo terhadap Majapahit bukan saja dianggap bukti pembangkangan politik tetapi juga sekaligus mewariskan tafsir, konstruksi, stereotipe, bahkan stigma terhadap komunitas Osing. Prototipe Menakjinggo dalam ketoprak Mataram yang buruk rupa merupakan pencitraan negatif terhadap Osing yang menganggapnya sebagai tokoh legendaris yang selalu membela rakyat. Begitu pula ungkapan-ungkapan “tukang santet”, “pemalas”, “ekslusif”, dan seterusnya yang berkembang luas di kalangan masyarakat Jawa.

Erotisme Tari Gandrung

            Tari Gandrung memang dipandang sebagai tari yag erotis, meskipun pada dasarnya unsur-unsur erotis tersebut kurang dapat ditemukan dalam tarian Gandrung. Kesan erotis ini muncul seirng pergeseran  tari Gandrung dari sacral lebih kearah tari pergaulan di tahun 1960an. Acap kali tari Gandrung dimanfaatkan sebagai ajang mengumbar nafsu dan praktek prostitusi terselubung. Setidaknya sampai tahun 1990an banyak kelompok-kelompok masyarakat yang memojokkan penari Gandrung lebih-lebih banyak penari yang menjadi simpanan pejabat pemerintah. Keadaan ini menyebabkan penari lain yang turut dikucilkan mulai melakukan pertunjukan diluar Banyuwangi dan Gandrung semakin berkibar trutama di daerah ibukota. Selain itu pertentangan juga sering terjadi antara golongan islam dan para budayawan namun setelah diadakan penyelarasan pendapat mengenai Gandrung pertentangan tersebut dapat direda.
            Tari Gandrung berkembang pesat semenjak taun 2000 dimana terjadi perubahan besar dengan dijadikannya Gandrung sebagai ikon kota Banyuwangi. Menyikapi perkembangan gadrung saat ini tari Gandrung sendiri menurut penyusun terpecah menjadi dua sebut saja Gandrung putih dan merah. Saat ikon kota Banyuwangi ini digencarkan ada beberapa kelompok penari Gandrung yang memanfaatkan sebagai ajang prostitusi, biasanya dalam acara tersebut berjajar ratusan botol miras dan beberapa pramuria yang bukan penari Gandrung. meskipun belum ada perhatian dari pemerintah namun yang kata wong Banyuwangi/kulonan (orang Banyuwangi non-Osing) disebut tayube wong Osing kini mulai merubah citra baik penari Gandrung yang mulai dibangun.  Sedikit banyak fenomena ini mulai menghawatirkan budayawan Banyuwangi yang berusaha mempertahankan eksistensi Tari Gandrung.

Simpulan

Ritual tari Seblang adalah upacara ritual bersih desa atau selamatan desa yang diselenggarakan setahun sekali dan kemungkinan dianggap sebagai pertunjukan yang paling tua di Banyuwangi (Scholte, J., 1927: 149-50; Wol- bers, P.A. 1992:89; 1993:36). Ritual Seblang sebagai ekspresi simbolik masyarakat petani pedesaan, khususnya masyarakat Olehsari dan Bakungan. Upacara Seblang diselenggarakan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas panen yang berhasil, kesuburan tanah, keselamatan warga desa, penyembuhan penyakit, penghormatan cikal-bakal, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman desa. Ritual Seblang tersebut diang- gap sebagai salah satu bentuk praktek sosial, semacam wadah untuk mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perse- orangan untuk memperkecil ketidakpastian, ketegangan, dan konflik  (Geertz, 1989:13).).
Pelaksanaan ritual tari Seblang masih dilaksanakan di dua desa dikecamatan Glagah yaitu di desa Bakungan dan Olehsari. Tari Seblang di dua desa tersebut berbeda waktu pelaksanaannya, di desa Olehsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha. Proses upacara Seblang di desa Bakungan Olehsari mempunyai ciri khas dan ketentuan tersendiri. Pemimpin upacara dipilihkan orang yang dianggap mampu memimpin jalannya  upacara.Saleh (Mbah Saleh) adalah dukun ”khusus” di desa Olehsari yang dipercaya oleh masyarakat menjadi pimpinan, yaitu untuk ngutugi dan ngundang roh alus. Ritual Seblang memiliki banyak fungsi bagi masyarakat penganutnya, yaitu antara lain: Sebagai sarana bersih desa, Sebagai pengundang kesuburan, Sarana Pengobatan Penyakit, Penghormatan Leluhur, Hiburan Roh Halusl.
Menurut catatan sejarah, Gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian Gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, Gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari Gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah Gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya Gandrung oleh wanita. Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
 Secara filosofis tari Gandrung memiliki arti yang semi-sakral karena pada awal kemunculannya seorang penari Gandrung harus melakukan ritual-ritual khusus yang harus dilaksanakan seperti puasa mtih 3 hari, berziarah ke makam Mbah semi dan ritual lain. Pada dasarnya tari Gandrung merupakan perwujudan kecintaan masyarakat Blambangan pada dewi padi atau dewi sri.

Referensi

Ali, Hasan. 2005. Dari Sawah Turun ke Gandrung dan Kuntulan. Banyuwangi : Jejak edisi ke-empat tahun 2005
Anoegrajekti, Novi. 2003. Gandrung Demi Hidup Menyisir Malam. Depok : Majalah Srintil edisi 3 tahun 2003. Desantara
Anoegrajekti, Novi. 2007. Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi. Depok : Majalah Srintil edisi 12 2007. Desantara
Anoegrajekti, Novi. Seblang Using: Studi Tentang Ritus Dan Identitas Komunitas Using. 2003. Jurnal Bahasa dan Seni Agustus 2003 Fakultas Sastra Universitas Jember:Jember
Anonym. 2001. Tari Gandrung dan Upacara Seblang. Tersedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/. diakses pada 8 Maret 2011
BS, Hayadi. 1985. Gandrung dan Sejarahnya Asal muasalnya yang Membingungkan. Surabaya : Jawa Pos Edisi Saptu paing 25 Mei 1985
Effendy, Bisri. 2008. Membaca Pariwisata Seni-Budaya: Tari Gandrung Banyuwangi. dalam http://www.puspek.averroes.or.id/2008/05/09/ membaca-pariwisata-seni-budaya-tari-Gandrung-Banyuwangi/  diakses pada 8 Maret 2011
Kholil, Ahmad . Seblang dan Kenduri Masyarakat Olehsari. 2010. Jurnal ACIS Ke-10, November 2010:Banjarmasin.
Kusnadi. 1993. Simbolisme Tari Seblang. Jember: Laporan Penelitian UNEJ.
Mahfud. Tari Gandrung. Tersedia dalam http://www.sejarahbanyuwangi.com/. Diakses pada 8 Maret 2011
Suartaya, Kadek. Banyuwangi Hormati Erotisme Gandrung. 2011. Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar via e-mail tidak diterbitkan.
Subagyo, Hadi. 1998.   Fungsi Ritual Seblang pada masyarakat Olehsari Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Tesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM.
Sutarto, Ayu. Sekilas Tentang Masyarakat Using. 2006.  Makalah dalam acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 : Jember
Suyono Joko dan Suwarno. Tari Gandrung Banyuwangi:Sebuah Potret Sejarah seni Pertunjukan. Universitas Negeri Malang : Malang

“Jika tulisan ini kurang lengkap, lengkapilah. Jika salah, benarkanlah. Setitik komentar pembaca, adalah cermin bagi penulis untuk berusaha lebih baik”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika tulisan ini kurang lengkap, lengkapilah. Jika salah, benarkanlah. Setitik komentar anda, adalah cermin bagi penulis untuk berusaha lebih baik